Oleh: Andin Alfinaoor Ansyarullah Naim
Kiranya para penyelenggara pemerintahan daerah dan elit politik daerah serta pengusaha daerah patut takut dengan akan hadirnya Densus Tipikor.
Mendengar namanya saja sudah mengerikan seolah bak pasukan tempur, dan tidak diragukan lagi densus Tipikor ini akan menjelma menjadi pengawas utama bagi daerah-daerah yang suka nakal berkorupsi.
Secara teori densus Tipikor ini mungkin sangat mantap, anggarannya juga wah dan kewenangannya pastinya ngeri serta wilayah kerjanya yang sangat luas menyelusuri dan menyusupi daerah, saya yakin akan banyak koruptor didaerah akan ditangkap dan tangkap terus.
Namun pertanyaan sebenarnya disini adalah apakah hal ini akan berbuah positif bagi daerah? Bagaimana daerah harus menyikapinya?
Penulis yakin tidak ada daerah yang protes akan hal ini, karena lebih banyak ketakutan daripada yang lainnya. Harus diakui korupsi didaerah masih merajalela, Dan oleh karena itu maka densus Tipikor ini akan berdampak positive dong bagi daerah?
Tapi ada baiknya juga jika ada daerah yang berani mengkritisi pembentukan densus Tipikor ini.
Jangan sampai daerah malah hanya menjadi korban dan kambing hitam ketika korupsi di tingkat elit pusat malah tak tersentuh, dengan sistem sentralisasi keamanan dan hukum di Negara kita ini maka seharusnya penyelenggaraan pemerintahan di tingkat pusat lah yang lebih dulu harus bebas korupsi sebelum mereka ingin memberantas korupsi ditingkat daerah. Karena apa? Karena korupsi ini sering kali melibatkan penetrasi kekuasaan yang lebih tinggi dari penyelenggara daerah itu sendiri.
Beberapa kasus korupsi di daerah yang ditangani KPK menunjukkan bahwa korupsi daerah sering kali berkaitan dengan para elit ditingkat atas atau pusat dan penguasaha dari pusat atau Jakarta. kadang  penyelenggara pemerintahan daerah tidak lah mampu melawan lobi-lobi kuat dari atas sana.
Ketidakadilan ini akan meresahkan daerah dan bisa berdampak kepada ketidakpercayaan politik daerah kepada pusat. Kita percaya bahwa tidak ada daerah yang ingin korupsi atau menjadikan korupsi sebagai bagian dari tradisi mereka.
Seperti  kita ketahui bersama bahwa korupsi tidak selalu berdiri sendiri, banyak sebab yang melatarbelakanginya, salah satu yang ditengarai adalah biaya politik baik tingkat pusat dan daerah yang begitu besar. Para ahli dan peneliti telah banyak melakukan penelitian dan seminar terhadap hal ini.
Jika kita setuju dengan adanya istilah pusat dan daerah sebagai pelaksana otonomi maka kritik penulis lebih diarahkan kepada peran pemerintah daerah dalam pemberantasan  korupsi diinternal mereka yang tidak berjalan baik.
Alangkah tidak beruntungnya jika kabar angin yang mengatakan daerah dianggap seperti anak kecil adalah benar, Mereka di beri wejangan dan ancaman supaya jangan korupsi, berbagai macam ini dan itu telah dilakukan. Dan toh akhirnya daerah tetap dianggap tidak bisa bebas dari korupsi dan sekarang mau dihadirkan lagi Detasemen khusus Tipikor untuk mengawasi daerah dan sekaligus menangkap para koruptor daerah.
Bukan kami tidak mendukung pemberantasn korupsi, tapi sebaiknya pemberantasan korupsi bisa lebih adil dengan terlebih dahulu memberantas korupsi dipusat kekuasaan. Sehingga dengan begitu tidak ada lagi penetrasi kekuasaan yang bisa melobi-lobi baik merayu dengan uang atau menekan dan mengancam penyelenggara pemerintahan daerah, sehingga korupsi didaerah bisa dikurangi.
Selain itu daerah tidak boleh dijadikan sebagai anak kecil lagi dalam pemberantasn kejahatan korupsi, daerah juga harus menjadi subjek penegak hukum dan bukan hanya sebagai objek penegakan hukum saja, ini adalah salah satu solusi yang patut dituntut oleh daerah.
Kita akui saja bahwa daerah tidaklah pandai dalam penegakan hukum, karena daerah tidak bisa menangkap maling, menangkap pencopet dan daerah memang tidak ada rasa tanggung jawab untuk menegakkan hukum secara penuh, daerah hanya punya tanggung jawab melakukan tugas yang tidak melanggar hukum. Secara psikologi dictum antara "Penegak hukum" dan "tidak melanggar hukum" sangat terasa berbeda tanggung jawabnya.
maka dengan berbagai pertimbangan diatas, penulis melihat adanya Densus Tipikor tidak akan banyak mengurangi budaya korupsi daerah, korupsi berbeda dengan terorisme, pemberantasannya perlu sebuah telandan dan harus bermula dari akar bukan dari buah, meski secara taktis kehadiaran Densus Tipikor mungkin akan memberikan dampak kejut, tapi seberapa lama? ujung-ujungnya daerah akan menjadi resah dan takut, berdampak psikologis politik yang negative.
sebaliknya, pemberantasan ditingkat pusat perlu lebih digalakkan, pusat perlu memberi teladan, pusat perlu bersih dari korupsi, dan hati-hati jangan sampai terasa daerah hanya sebagai korban atas perseteruan dari cicak dan buaya.
Jangan sampai hal ini meretakkan semangat persatuan Negara kita Republik Indonesia ini akibat dari bias penegakan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H