5. Kode Kultural
Kode budaya (culture) adalah referensi yang terkandung dalam teks sastra, yang dapat berupa objek, peristiwa, konsep, karakter, dll yang sudah diketahui, dikoordinasikan, atau dihancurkan oleh budaya lain. Penulis atau penulis teks harus memiliki titik budaya dalam membangun ceritanya. Kode Ghonik hanya dapat dipahami dengan menemukan hubungan referensi dengan kode referensi yang benar.
-Mitos-
Roland Barthes menyajikan model teoritis mitologi atau mitos. Pernyataan pertamanya adalah mengenai mitos. Namun, mitos bukan hanya pernyataan. Untuk menjadi mitos, bahasa membutuhkan kondisi khusus. Dia berpendapat bahwa "mitos seharusnya tidak menjadi objek, konsep, atau ide. Mereka adalahsuatu bentuk makna."
Disertasi dasar Barthes adalah bahwa apa pun bisa menjadi mitos. Ada pembatasan formal, tetapi tidak ada batasan substantif. Selain itu, mitos memiliki alasan historis daripada alasan alami, dan Barthes ingin menjelaskan bahwa hanya bahan semiotik yang bisa menjadi mitos. Tentu saja, tidak ada yang non-buatan yang bisa menjadi mitos.
Mitos atau myth secara etimologi berasal dari Bahasa dari yunani "mythos" memiliki arti speech, pemikiran atau cerita yang tidak diketahui keasliannya (rumor). Laurence coupe (1997) dalam bukunya "myth" menyatakan originally meant speech or word, but in time what the greeks called mythos was separated from, and deemed inferior to logos.
Secara etimologis mitos berasal dari kata Yunani "mythos", mitos atau mitos memiliki kredibilitas yang tidak diketahui (rumor), pemikiran, atau makna naratif. Laurence menambahkan tulisan-tulisannya di awal apa yang orang Yunani sebut mythos terpisah dengan logos. Ini adalah pembenaran atau pernyataan yang lebih jelas. Dia juga mengutip pernyataan Vernant (1982) bahwa konsep mitos muncul antara abad ke-8 dan ke-4, ketika ada berbagai asumsi, dan ada kontras antara mitos dan logos.
Barthes mendefinisikan mitos sebagai "cara budaya untuk berpikir tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami hal-hal." Mitos adalah sistem komunikasi karena mereka membawa pesan. Oleh karena itu, mitos bukanlah objeknya. Mitos bukan pula konsep atau ide, tetapi metode makna bentuk.
Menelusuri sejarahnya, mitos terus berlanjut dan terkait erat dengan ritual. Mitos adalah bagian dari ritual yang diabadikan sepanjang ritual. Dalam masyarakat, ritual dilakukan oleh para pemimpin agama untuk menghindari bahaya dan membawa keselamatan. Ritual adalah peristiwa yang terjadi kapan pun dibutuhkan, contohnya ritual panan, kesuburan hingga ritual kematian (Van Peursen, 1988).
Seiring waktu, ia belajar dari penjelasan dan mendongeng dan sistem komunikasi di mana pesan itu ada. Kekayaan sastra dan budaya dapat memperluas mitos. Barthes (1997) memparafrasekan bahwa "mitos tentu saja termasuk dalam ranah ilmu pengetahuan umum, yang memiliki tingkat yang sama dengan semiotika linguistik" (Barthes, 1997).
Barthes membahas mitologi sebagai suatu sistem semiotika. Sebagai seorang strukturalis, ia pertama kali ingat bahwa menurut terminologi Saussure, semiotika harus berurusan dengan hubungan significant dan signifie. Beliau menganalisis hubungan ini sebagai kesetaraan.