“Aku nggak berubah, Sayang. Tapi keadaaan…”
“Nggak usah menyalahkan keadaan!” potong Dewi mengintimidasi. “Kita pernah berada dalam keadaan yang lebih sulit dari ini. Dan kita bertahan. Lihat ini! Lihat Wa!” Ku lihat Dewi mengangkat ‘Dewa’ ku yang tak berdaya ke wajah Dewa. “Kamu masih ingat tulisan ini?”
Ku lihat Dewa hanya diam menunduk.
‘Katakan sesuatu Dewa. Ku mohon jangan biarkan Dewi pergi atau melakukan sesuatu pada ‘Dewa’ku. Kau akan menyesal nanti’ rintihku yang pasti tak akan didengar oleh Dewa.
Pyar! “Ini semua Bullshit! Omong kosong!” Dewi melempar ‘Dewa’ entah kemana.
Aku terkesiap mendengar suara tubuh ‘Dewa’ yang pasti kini tak lagi utuh. Aku masih sempat melihat tetes air mata ‘Dewa’ sebelum ia hancur dilempar Dewi.
“Kita cukup sampai di sini Wa. Kamu bukan Dewa ku yang ku kenal.”
Dan ku lihat Dewi melenggang pergi dalam tangisnya. Aku marah! Saking marahnya aku tak bisa menangis. Aku marah karena aku tidak bisa mencegah Dewi untuk pergi. Aku juga marah pada Dewa yang tak melakukan apa-apa. Apakah dia benar-benar laki-laki? Apa dia benar-benar Dewa yang agung?
***
Setelah kepergian ‘Dewa’ dan Dewi, aku adalah pajangan. Aku bukan lagi mug yang berisi cokelat panas. Aku hanya pajangan bersama benda-benda lain di rumah ini. Benda-benda yang selalu ramai bergosip dan menertawakanku yang bertahan dengan perasaan seperti layaknya manusia. Mereka selalu mencirbirku saat aku merindukan ‘Dewa’. Mungkin mereka ada benarnya juga, benda mati tak seharusnya punya perasaan layaknya manusia. Karena perasaan manusia itu plin plan. Bahkan cinta pun bisa se-plin plan itu.
Dalam riuh tawa mereka, aku mendekap diriku yang merindukan sunyi. Aku tak pernah nyaman dalam suasana ramai, apalagi tanpa ‘Dewa’ bersamaku. Semakin erat aku mendekap diriku. Sangat erat. Lalu aku rasakan retak di bagian tubuhku. Entah di mana. Namun retak itu tak lebih sakit dari hatiku yang tersesat dan takut dalam keramaian. ‘Dewa’ kamu di mana? Aku butuh kamu, aku ingin kamu di sini.