Mohon tunggu...
Alfiansyah_senja
Alfiansyah_senja Mohon Tunggu... Buruh - Penulis artikel, foto, dan traveling

Lahir dan besar di kota Balikpapan. "Setiap Malam adalah Sepi" adalah novel perdana yang berhasil dicetak lewat proyek indiependent. Novel ini bercerita tentang kehidupan urban seorang pekerja yang bekerja di malam hari di Kota Balikpapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Tidak Ada Pancasilanya

22 Juni 2020   23:05 Diperbarui: 22 Juni 2020   23:11 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika arusnya seperti itu (sudah seharusnya orang yang menjabat mesti korupsi karena  mengembalikan modal kampanye, desakan dari petinggi partai), maka, korupsi adalah sebuah budaya yang kotor dan hina, dan untuk apa lagi diselenggarakannya demokrasi dengan cara pemilihan umum, jika orang yang nantinya kita pilih nanti dan telah menjabat, pasti akan korupsi? Mereka telah berinvestasi memakan uang rakyat. Itu sudah pasti!

Hukumannya pun "yang ringan-ringan" saja. Korupsi bermiliar-miliar, dendanya cuman beratus-ratus dan vonisnya di bawah 5  tahun. Adilkah?

Belum lagi runtuhnya rasa persatuan antar umat manusia. Runtuhnya sebuah persatuan sendiri karena kemampuan seseorang dalam melihat sebuah kasus yang terjadi, dewasa ini. Bagaimana setiap orang saling curiga, saling mencari keuntungan dalam setiap kesempatan, dan paling sering dipraktekkan adalah mengaku golongannya paling benar dan menebarkan ujaran kebencian tanpa ampun dan tanpa landasan yang tidak jelas. 

Anehnya, kita sangat mudah menerima informasi tersebut yang disebar oleh akun media sosial (medsos) semacam instagram dengan followers lebih dari 1000 pengguna medsos tanpa menyaringnya terlebih dahulu. Bahkan ikut terlibat untuk meng-like, meng-share dan berkomentar yang tidak baik. Video propaganda bertebaran dimana-mana, tanpa ada kontrol pemerintah, atau instansi terkait.

Tidak hanya itu, dampak negatif dari akun media sosial (terutama yang mempunyai pengikut lebih dari 10.000 followers) pun sangat tidak berbobot. Menghambat kemajuan budaya. Padahal, bagi kawula muda, medsos tersebut dijadikan patokan mereka sebagai sarana informasi sebuah peristiwa/kejadian, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. Sedangkan, media online resmi yang telah terverifikasi oleh dewan pers dinomorduakan. 

Dengan caption yang tidak berbobot (tidak berdasarkan kaidah jurnalis, bahkan sangat tidak masuk akal), video yang viral (tidak berkualitas), sedikit video humor semi-pornografi, mereka hadir, menjadi magnet agar pengguna media sosial mem-follow akun tersebut. Dijadikan iklan atau mendekati penguasa (ladang kampanye).

Anehnya, pemegang atau orang yang mengurus akun medsos tersebut adalah kawula muda. Padahal, sebuah pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia dipelopori oleh pemuda. Tapi, dewasa ini, yang tua-tua pun belum mampu memberikan contoh yang  baik. Ambil contoh menyebarkan berita hoaks, benci sana ; benci situ, sampai menebar fitnah (mohon maaf, paham kiri bangkit lagi) dengan video yang seolah-olah kita sudah berada di neraka, "mereka" salah dan "kita benar", jadi, siapa lagi yang bisa dijadikan panutan untuk menjadi orang Indonesia?

Dan kapan kata "mereka" itu benar-benar menjadi "kita" seutuhnya, dalam pengertian persatuan Indonesia?

Kecurigaan pada para wakil rakyat yang telah dipilih secara demokrasi. Curiga ini timbul dengan sendirinya akibat dari praktek "uang adalah segala-galanya". 

Uang adalah segala-galanya, yaitu suara rakyat bisa dibeli dengan uang. Uang adalah hamba dari segala hamba. Merasa pesimis, namun diam-diam mengambil uang si calon dan mencoblosnya di bilik suara. Curiganya : pasti orang yang dipilih dan telah "gol"  itu korupsi, karena ingin mengembalikan dana kampanye. 

Ketika dana kampanye telah terkumpul, maka, dia pun tidak sampai di situ. Menumpuk uang korupsi sebanyak-banyaknya, mengatasnamakan rakyat tanpa memikirkan kaum jelata. Landasannya: jabatannya hanya 5 tahun. Selama 5 tahun itu, mesti pandai-pandailah mengatur, mengelola dan memanfaatkan uang negara. Itulah kegagalan demokrasi saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun