Mohon tunggu...
Alfiansyah_senja
Alfiansyah_senja Mohon Tunggu... Buruh - Penulis artikel, foto, dan traveling

Lahir dan besar di kota Balikpapan. "Setiap Malam adalah Sepi" adalah novel perdana yang berhasil dicetak lewat proyek indiependent. Novel ini bercerita tentang kehidupan urban seorang pekerja yang bekerja di malam hari di Kota Balikpapan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Soliter

8 April 2020   13:06 Diperbarui: 8 April 2020   14:17 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Takut terlambat pergi kerja, takut di PHK, takut difitnah, takut ketahuan gelapkan uang perusahaan, takut turun jabatan, takut terlambat bayar cicilan, takut sakit, serta ketakutan-ketajutan lainnya yang kadang tak masuk akal itu. Apakah Tuhan mendengarkan setiap keluhan para karyawan? Dan jawabannya adalah, karyawan hanya bisa sembunyi dalam ketiak pimpinan.

"Ck."

Itulah pikiran dari seorang yang sudah lama terikat pekerjaan berpuluh-puluh tahun pada satu perusahaan dan sudah pasrah dengan hidup. Seperti itulah nasibku sekarang ini. Hidup hanya untuk menyambung keturunan. Punya anak dan ingin cepat-cepat tua. Setelah lulus, lamar kerja dan akhirnya jadi sapi perah di perusahaan. Berharap dapat kompensasi dari perusahaan, atau pencarian tunjangan hari tua yang tak seberapa itu. Apakah hidup memang sudah seperti itu? Tunggu tua baru perusahaan memberikan kita uang yang---katanya---lumayan itu? Astaga!

"Ck."

Tahun ini bos di perusahaan naik haji. Jika dihitung-hitung, dia sudah naik haji yang keempat kalinya. Umroh sudah duabelas kali dan 42 orang telah diberangkatkan umroh. Di perusahaan, hanya ada tujuh orang yang diberangkatkan umroh. Selain menjilat, tujuh orang itu adalah orang yang benar-benar super rajin, mengabdi, dan loyal terhadap bos---padahal sering juga kudengar mereka mengumpat kata-katai bos.

Dengar-dengar tahun ini bos mau mendatangkan penceramah yang sering hadir di you tube dan mengisi acara buka puasa bersama, yang dihadiri seluruh karyawan, kolega, dan mengundang anak-anak panti asuhan---tentunya ketika pulang disuruh berbaris, salaman cium tangan, disaungi amplop dan sembako. Tahun lalu, bos juga mengundang penceramah yang lagi viral di media sosial. Kalau tidak salah, isi ceramahnya mengenai kesabaran dan perbanyak bersyukur.

Ketika penceramah itu mengatakan perbanyak bersyukur, beberapa karyawan termasuk aku tertawa sinis. Mohon maaf, seakan ibadah hanya sebuah formalitas yang kadang menyediakan para penceramah yang dibayar mahal, untuk memotivasi para pekerja agar banyak bersyukur dan kurangi mengeluh. Sebenarnya itu adalah sebuah strategi bisnis para borjuis semakin memeras tenaga kerja anak buahnya---gaji hanya dibawah  UMK, sementara tuntutan pekerjaan, jam kerja dan lemburan semakin tak masuk akal.

"Yang kita lupakan saat ini adalah bersyukur atas nikmat yang telah diberikan. Hadirin sekalian, perbanyaklah bersyukur. Ikhlas dalam menghadapi cobaan. InsyaAllah, kenikmatan dan rezeki akan datang dengan sendirinya . . ."

Ya, kira-kira begitulah yang dilakukan para penceramah, seperti sebuah lagu lama yang diperdengarkan berulang kali. Kuncinya, ikhlas, ikhlas dan ikhlas. Bagi orang sepertiku, apa yang dirasakan saat ini bukanlah ikhlas, melainkan, bahasanya lebih rendah lagi. Karena hanya bisa memaki dan mengeluh di belakang bos, sementara ada bos langsung bermuka dua dan menjilat, maka, orang-orang sepertiku adalah golongan yang sudah pasrah. Berani menggonggong di ketiak bos. Terima apa adanya, sekaligus bisa mendapatkan uang lebih dengan cara-cara tidak sehat. Ciiih! Asu! Jika dipikir-pikir, jadi malu sendiri aku.

Menjadi tua membuatku tak berambisi lagi mengejar cita-cita---minimal jadi pengusaha ternak lele. Semua impian itu sebatas lamunan seorang pria tua yang telah mempersiapkan segala amalan dunia. Perbanyak ibadah dan melakukan hal baik, namun diam-diam karena ada sedikit kuasa di kantor, bisa "main-mainin" uang bos. Toh, menurutku itu adalah wajar-wajar saja sebagai karyawan. Jika aku ketahuan, maka aku akan bertanya balik pada bos yang telah memperkerjakan ratusan karyawan itu.

"Kita hanya mengambil 0,001 persen dari keuntungan perusahaan Anda dan sementara berapa waktu, pikiran dan tenaga karyawan yang Anda peras, dan segala macam hak kami benar-benar Anda rampas. Apa yang diberikan perusahaan ini, apakah kesejahteraan sudah kita dapatkan! Sudah berpuluh tahun kerja, tetap saja standar UMK. Perusahaan seakan sudah menjadi sangkar burung!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun