Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Alasan Pernyataan Sikap Salah Satu Penandatangan Menolak RUU Permusikan

7 Februari 2019   19:15 Diperbarui: 9 Februari 2019   08:47 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Alfiansyah 

Legalitas seorang musisi itu tolak ukurnya tidak bisa diukur dari selembar surat yang datangnya dari pemerintah, lembaga sertifikasi, atau dari langit. Memangnya, standarisasi pemerintah dalam memahami musik itu apa? Kalau toh memang ada---mengatasnamakan---mantan musisi  duduk di bangku DPR, mungkin musisi-politikus itu sudah kehabisan akal mau buat undang-undang apa untuk mendapatkan proyek..

Dari ini pun musisi akan balik bertanya, standarisasi anggota DPR menjadi wakil rakyat itu apa? Selama ini prestasinya apa?

Seorang musisi lebih diakui dibanding seorang politikus. Namanya lebih mengharumkan nama Indonesia. Dikenal mancanegara tanpa pernah mengadakan kampanye berbayar. Bahkan, konsernya pun gratis---karena kebijakan dari sponsor penyelenggara.  Pun tidak pernah merugikan rakyat dan bikin malu negara karena korupsi mulu mainannya. 

Karena, bahasa musik itu adalah bahasa yang sangat universal dan sudah 'berhubungan badan' dengan keseharian manusia.  Kejujuran dari humanisme dan dipadu dengan kritik sosial melebur disitu. Sementara, bahasa politik hanyalah bahasa kekuasaan.  Kata "Lagunya Begini Nadanya Begitu"-nya Jason Ranti, maknanya tak ada mirip seorang pejabat.

Tidak heran jika Jason Ranti diakun instagram "Koalisinasionaltolakruup" sangat satire dan tegas menanggapi hal ini. Dalam video singkatnya, ia mengatakan :

Halo, nama saya Jason Ranti saya menolak RUU Permusikan. Karena curang! Saya bikinnya lagu dia bikinnya undang-undang. Curang! Karena curang! Karena rasannya kayak Orde Baru Curang! Karena saya merasa dizolimi dan ditindas. Curang!

Saya bukanlah siapa-siapa. Tapi sedikit-dikit bisa main musik dan tahu beberapa nama-nama band lokal Indonesia yang warna musiknya lebih berwarna, variatif, dan tidak ingin terikat dengan mayoritas selera pendengar musik di Indonesia. Inilah pernyataan saya, sebagai penikmat musik, sekaligus salah satu dari ribuan pecinta musik di Indonesia yang telah menandatangani petisi mengenai RUU Permusikan di Tanah Air yang tidak adil bagi para pelaku musik.

Sebelum saya mengambil sikap, pertama-tama, saya pahami dulu materinya dan apa saja yang dibahas mengenai pasal yang ditawarkan oleh Anggota DPR Komisi X dari Partai Amaant Nasional (PAN), Anang Hermansyah dan para koleganya. Dari ini, saya tidak menyalahkan Anang,  karena dibalik itu, dia pasti tidak bergerak sendiri dalam merancang undang-undang. Ada alur yang mesti ditempuh untuk merancangnya.

Dikutip Kompas.id, 5 Februari 2019, Anang Hermansyah  menyangkal bukan dialah yang merumuskan redaksi di RUU tersebut. Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI yang dikepalai Inosentius Samsul.  Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa dia  adalah salah satu orang yang dijadikan sumber menyusun RUU.

Dikutip dari Tirto.id, 04 Februari 2019, RUU Permusikan setidaknya memiliki 19 pasal bermasalah di dalamnya yaitu 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, 51. Untuk point-point tersebut, silahkan akses di https://tirto.id/petisi-ruu-permusikan-daftar-19-pasal-yang-dianggap-bermasalah-dfQR?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Terkait

Saya pun mengambil contoh mengenai Pasal 5 yang sangat fundamental dan tidak masuk akal. Poinnya ini :
Dalam melakukan Proses Kreasi, setiap orang dilarang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum;
f. membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau
g. merendahkan harkat dan martabat manusia.

Dari poin e, f dan g sangatlah tidak masuk akal. Apakah pernah musisi berkoar-koar melakukan perbuatan tidak baik? Paling-paling selalu kritik sosial dan mengajak masyarakat lebih terbuka lagi hati nuraninya untuk berbuat baik, dan berharap semoga pelaku korupsi dihukum dan diadili sesuai dengan perbuatannya - walau ada beberapa musisi yang bertindak sangat sekulari.  Justru orang korupsi yang banyak melawan hukum. Merugikan rakyat, mangkir dipanggilan sidang, pura-pura sakit, dan tiba-tiba mendapatkan pengampun (remisi).

Pengaruh negatif  budaya asing yang bagaimana? Apakah musik itu yang "sopan-sopan"terus? Apakah musik itu liriknya yang "baik-baik" terus? Apakah musik harus berbahasa Indonesia? Aduh, kalau ini diterapkan, kasihan sekali grup band Seringai, Burgerkill, Dead Squad, atau penyanyi solo Iksan Skuter, Jason Ranti, dan band-band indie yang liriknya keras dan isinya benar-benar makian terhadap kritik sosial dari kinerja para pejabat. 

Apalagi fashion Mbak Danilla Riyadi  yang begitu natural dan apa adanya. Pasti Mbak Danilla akan langsung dihujat---walau sekarang sudah banyak yang menceramahi Mbak. Katanya, gaya dan pakaian Mbak Danilla sangat bertentangan terhadap  perempuan Indonesia karena menato kulitnya dan merokok secara terang-terangan. Mbak Danilla akan langsung diklaim dan  bahkan didemo.

"Danilla ikutin budaya negatif orang asing dan  ini sangat bertentangan dengan asas perempuan Indonesia! Danilla antek Yahudi! Kami perempuan Indonesia menolak Danilla (baca : Mbak Agnes Monica bisa masuk juga tuh)  Landasan kami ada di Pasal 5 poin f dan g! Usir Danilla dari Indonesia. Setuju!"

Aduhai, jika hal itu terjadi, ini benar-benar seperti zaman pasca kemerdekaan di tahun 1950-an. Pertarungan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) melawan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Jika ada seniman yang tidak pro terhadap revolusi dan ikut bergabung dengan Manikebu, maka, orang-orang tersebut dianggap antek asing, dikucilkan bahkan yang menjabat diinstansi pemerintah atau pendidikan langsung diberhentikan. 

Pasca tumbangnya Orde Lama, giliran orang-orang Lekra yang dikucilkan, dibuang dan bahkan dibunuh---tanpa proses pengadilan, mereka dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).   

Tapi tenang saja Mbak Danilla. Jika ada yang mendemo Mbak, saya orang pertama yang akan membela Mbak di garis depan. Wkwkwkwkwk.  

Pasal ini akan dijadikan senjata dan tameng pemerintah, penguasa, atau siapa pun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai. Bisa jadi seperti ini : "Saya tidak terima dengan lagunya Iksan Skuter. Partai Anjing itu sangat merendahkan kami, sebagai anggota parlemen. Sebagai anggota legislative negara. Karena Iksan melanggar Pasal 5 di poin g, maka kami memperkarakan Iksan ke jalur hukum."

Ckckckckc. Jika memang seperti itu, ini benar-benar tidak masuk.  

Vokalis Band GIGI Armand Maulana mengambil contoh lain mengenai Pasal 5.  "RUU Permusikan ada beberapa pasal yang oke, tapi ada beberapa pasal yang sungguh tidak usah ada dan karet. Contohnya, mengenai cipta karya musik dan seni dilarang, poin A, B, C, masuk diakal, bisa didiskusikan. Tapi yang merendahkan harkat dan martabat manusia, itu terlalu luas kalau menurut saya. Manusia lho, manusia berapa ratus juta," kata Armand di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (4/2/2019) siang. Dikutip tirto.id

"Kalau saya bikin lagu putus cinta, dia kesel sama saya dan punya sebuah kekuatan, ya saya bisa dipenjarakan. Iya dong. Karet banget kan. Menurut saya ini rada unik," lanjutnya.

Seakan-akan, mereka, yang membuat RUU Permusikan mengajari dan mendikte para musisi. Harusnya musik seperti ini danseperti  itu. Kalau tidak seperti ini dan itu, maka,  musik tersebut tidak sopan dan tidak baik untuk didengar. Gaya berpakaiannya pun harus sopan dan jangan ke-barat-barat-an..

Maka dari itu, saya sepakat dengan pernyataan sikap yang dilakukan oleh sebagian musisi Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan. Landasan mereka pun sangat masuk akal karena RUU Permusikan sangat bertentangan dengan  Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan bertolak belakang dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi.

Dikutip dari Kompas.id, 5 Februari 2019, Mbak Danilla Riyadi mengatakan kalau musisinya ingin sejahtera, sebetulnya sudah ada UU Perlindungan Hak Cipta dan lain sebagainya dari badan yang lebih melindungi itu. Jadi, untuk apa lagi permusikan dibuatkan undang-undang. Saya tambahkan Mbak Danilla, mungkin RUU Permusikan itu adalah proyek mereka dan sudah kehabisan akal untuk meraup proyek. Karena, harap maklum, masa jabatannya mereka kan sebentar lagi berakhir.

Mengenai perseteruan Bang Jerinx Superman Is Dead dengan Anang Hermansyah/Ashanty. Mungkin, sebagian masyarakat tidak bisa menerima komentar "pedas"  dari Bang Jerinx ke Anang Hermansyah/Ashanty.  Maklum, katanya , budaya kita ini hasil saduran dari Budaya Timur yang menjunjung tinggi sopan-santun. 

Sementara, orang-orang kita, diam-diam  mengagungkan keahlian, keterampilan, keintelektualan, dan kebudayaan orang bule. Contoh kecil : calon mertua bangga sekali kalau pacar anaknya itu kerja di perusahaan asing. Maklum, standar gaji yang diberikan perusahaan asing lebih tinggi. Jadi, kritik itu harus yang sopan, Bang! (Kalok begitu, bukan kritik namanya, dong!).

Pernyataan  Bang Jerinx yang meledak-ledak, berapi-api dan sangat vokal ini pun mendapat kritikan dan bahkan ada yang mengatakan "mulut yang tidak berpendidikan atau tidak pernah merasakan bangku sekolah. Jauh sekali dengan Anang Hermansyah". Justru, saya pribadi menganggap apa yang dikatakan oleh Bang Jerinx adalah murni dari hati nuraninya sebagai seorang musisi. Karakternya  sudah seperti itu, dari dulu.  

Tidak munafik, bertele-tele, dan basa-basi. Bang Jerinx tidak bisa seperti politikus yang membaca pidato hasil dari copy paste dan kebanyakan kata sambutan "kepada yang terhormat"- nya dibandingakn dengan esensi dari isi pidato. Membosankan, penuh pencitraan dan orang yang dengar pun bikin ngantuk.  

Saran saya kepada Bang Jenrix---walaupun saya tahu Abang tidak suka digurui---kalau bisa jangan terlalu meladeni istrinya orang, Bang. Nanti, orang-orang awam itu langsung berpikir ke masalah pribadi---jadinya nanti curhat-curhatan remeh-remeh yang tidak penting---dan tidak fokus ke RUU Permusikan. Yang penting, tetap kepalkan tangan kiri, Bang! Lawan!

Nah, maka dari itu, saya pribadi, secara tegas, tidak dipaksa atau dihasut oleh seseorang untuk memilih, menegaskan menolak adanya RUU Permusikan dan menandatangi petisi!

Nb. dari tanggal 06 Februari 2019, pukul 01.20 Wita, jumlah penandatangan sudah mencapai 186.110 (jumlah ini akan terus bertambah). 

Balikpapan, 6 Februari 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun