Mengenai daging penyu yang dimakan, terus terang saya sendiri pernah melihat bagaimana daging  penyu itu disate. Penyu itu, pertama-tama dibawa ke darat dan diikat. Agak lama dibiarkan di darat. Penyu  kadang meronta-ronta, mulutnya kadang mengeluarkan liur kental yang berbusa,  tapi tetap saja dibiarkan terikat dan tidak dipedulikan. Sebelum penyu itu dicincang, terlebih dahulu penyu harus dipotong lehernya seperti memenggal sapi. H
arus ada orang yang memegang leher penyu pakai tali penjerat, agar lehernya tidak melengkung ke belakang. Ketika penyu mengerang dan penjagal masih mengiris leher, saya menatap matanya. Begitu dalam. Kedua kerling matanya mengeluarkan air mata. Ketika penyu dinyatakan mati, air mata itu masih tersisa. Menggores di bawah bola matanya.Â
***
Sore hari, sebelum matahari terbenam, Rabu, 16 Januari 2018, sahabat saya Purwanto---sapaan akrabnya Ipung---menelepon, mengabarkan bahwa ada penyu yang tidak sengaja menabrak renggek (alat tangkap nelayan) nelayan. Penyu itu, kata Ipung,masih berada di perahu nelayan dan  ingin dilepaskan kembali ke Sungai Manggar. Namun, ia butuh teman untuk mendokumentasikan pelepasan penyu tersebut.
Penyu itu berada di bagian tengah kapal. Menggeliat. Kulihat punggungnya terdapat lumut hijau yang sudah kering. Pasti penyu ini berumur tua.
"Sini, biar aku yang video dan kamu yang lepas?" kata saya.
"Kamu saja, Po' (lengkapnya Sappo', bahasa Bugis, artinya sepupu. Sapaan ini sudah umum digunakan orang Balikpapan). Aku tidak pakai baju ini, dan tidak enak, masa' di video tidak pakai baju."
Hari itu Ipung bertelanjang dada. Hanya memakai celana kolor. Maklum, ia sering bertelanjang dada karena jarak Sungai Manggar dari rumah kami tidak terlalu jauh. Jadi, ia menyarankan agar saya yang melepaskan penyu tersebut. Â
Saya mengangkat penyu itu. Berat sekali. Mungkin beratnya sekitar 20kg ke atas. Sebelum saya lepaskan ke sungai, Ipung berkali-kali memberitahukan agar saya hati-hati dan  pelan-pelan melepaskannya. Jangan langsung dilepaskan, tunggu kedua kaki bagian depan meraskan air dan dikipas-kipas. Ketika ada aba-aba darinya, baru saya lepaskan. Cepat sekali penyu itu berenang.
Perasaan saya saat itu ada dua, sangat senang dan terharu.
Setelah itu, hasil rekaman video saya unggah di media sosial pribadi saya. Saya tegaskan bahwa ini bukanlah suatu pencitraan. Tanggapan dari kawan saya sangat positif dan saya menarik kesimpulan : ternyata kita masih peduli dengan kelangsungan hidup penyu, namun kadang tidak berbanding terbalik dengan realita alam di sekitar, di mana masih membuang sampah di laut dan hanya sibuk mengkampanyekan jangan buang sampah sembarang.
***
Sebelum penyu dilepas, Ipung sudah lebih dulu mengabarkan salah satu orang yang bekerja di Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Balikpapan. Tanggapan dari dinas perikanan dan kelautan, pada saat pelepasan, mereka belum bisa hadir. Mereka butuh dokumentasi video, sebagai bentuk otentik bahwa penyu tersebut benar-benar dilepaskan ke habitatnya.
Malamnya, Ipung mengirimkan ke saya  data penyu. Saya menganggap, penyu itu adalah Penyu Hijau dan bahkan di media sosial, saya memberi keterangan bahwa jenis penyu yang baru saja dilepaskan adalah Penyu Hijau. Jadi mohon maaf, ada kesalahan redaksi mengenai  jenis penyu.
Dari data yang dihimpun, jenis penyu tersebut adalah Penyu Lekang atau Olive Ridley Turtle, berjenis kelamin betina, panjang 70 cm, lebar 62 cm, dan berat 20kg.
Ipung menjelaskan, yang mendapatkan penyu ini adalah Yanto, kawan kami juga. Yanto adalah nelayan renggek di Manggar Baru, penyu ini didapat di sekitar perairan Rig Balikpapan.
"Penyu tidak sengaja menabrak renggek dan Pak Yanto mengabariku bahwa ada penyu di perahunya," cerita Ipung.
Sebelumnya, lanjut Ipung, pada tanggal 25 November 2018, nelayan atas nama Pak Moh. Tosim (tetangga kami) ketika sedang melaut,  tidak sengaja menjaring 2 Penyu Lekang.  Penyu itu ia bawa ke perahunya. Mendengar kabar ini, Ipung langsung mengabarkan ke Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Balikpapan. Dua orang dari dinas perikanan dan kelautan, serta dibantu satu personel Polair Polda Kaltim datang untuk melepaskan penyu tersebut. Sebelum dilepaskan, terlebih dahulu mereka  mendata penyu.  2 penyu berjenis kelamin betina. Panjang kerapas : 46 cm dan 57 cm. Panjang sampai kepala : 61 cm dan 78 cm. Lebar kerapas : 47 cm dan 67 cm.
"Sebelumnya, masih ada lagi penyu yang kita lepaskan," ujar Ipung.
Penyu Laut masuk dalam daftar spesies yang masuk dalam kategori punah. Â Ancaman yang mereka hadapi adalah praktik yang telah dilakukan manusia sendiri. Pencemaran limbah dan buang sampah sembarangan di laut, pantai dan sungai. Â Eksploitasi besar-besaran, penangkapan dan perdagangan daging dan telur. Perikanan yang tidak ramah lingkungan. Â Perubahan lingkungan.Â
Dari berbagai sumber terpercaya yang saya cari di Google, hanya ada 1 dari 1000 tukik (anak penyu)yang dapat selamat menuju penyu dewasa, hal ini karena adanya seleksi alam dan apalagi ketika penyu masih berbentuk tukik, menjadi santapan yang mudah bagi predator laut. Â Yang kuat memakan yang lemah.
Sekali bertelur, penyu betina menghasilkan 50-150 telur, namun, itu tergantung dari jenisnya. Penyu mampu bertahan hingga berusia 100 tahun, tergantung jenisnya---umur ini mengalahkan manusia yang (hampir) rata-rata tidak mencapai 100 tahun ke atas. Penyu adalah pengembara samudra yang ulung, mampu mengarungi ribuan kilometer.
Ipung, Sungai Manggar dan Permasalahan LainnyaÂ
Kedua, bisa jadi santapan lauk bagi nelayan yang mendapatkannya---biasa nelayan tersebut memberikan penyu itu ke nelayan lain secara Cuma-Cuma agar dagingnya  disate atau di masak rica-rica, lalu, memakannya bersama. Ketiga, ketika penjelasan pertama dan kedua tidak ada yang berminat, maka, nelayan akan melepaskan kembali  penyu ke habitatnya.
Mengenai daging penyu yang dimakan, terus terang saya sendiri pernah melihat bagaimana daging  penyu itu disate. Penyu itu pertama-tama di bawa ke darat dan diikat. Agak lama dibiarkan di darat. Penyu  kadang meronta-ronta, mulutnya kadang mengeluarkan liur kental yang berbusa,  tapi tetap saja dibiarkan terikat dan tidak dipedulikan.Â
Sebelum penyu itu dicincang, terlebih dahulu penyu dipotong lehernya seperti memenggal sapi. Harus ada orang yang memegang leher penyu pakai penjerat agar lehernya itu tidak melengkung ke belakang demi melindungi lehernya. Ketika penyu mengerang dan penjagal masih mengiris leher, saya melihat matanya. Dalam. Sangat dalam. Penyu itu menangis. Ketika penyu sudah tidak bernyawa lagi, air mata itu masih membekas di bawah bola matanya .
Lagi-lagi saya mengatakan, untung saja ada Ipung dan jika ada yang mendapatkan penyu, nelayan akan melapor langsung melapor ke Ipung. Â Ipung sekeluarga, bagi saya keluarga bukan hanya tetangga bersebelahan rumah. Tapi sudah menjadi keluarga. Ikatan emosional saya dengan keluarga Ipung begitu erat. Â Dari dia, saya banyak belajar hal bagaimana mencintai laut dan sungai.
Yang mengajak saya pertama kali ke laut menggunakan perahu adalah dia ; yang mengajarkan pertama kali berenang adalah dia  ; yang mengajarkan pertama kali memancing adalah dia ;  yang mengajak saya menjala ; merenggek ;  malam hari menombak kepiting ; dan mencari tude (kerang besar) adalah dia. Saya sering memanggilnya Rob Bredl, seorang presenter hewan buas yang ke  alam liar selalu tidak beralas kaki dan wawasannya tentang hewan dan tumbuhan apa saja yang bisa dimakan sangat luas.Â
Sama seperti nelayan di Sungai Manggar yang menyandarkan perahunya di pesisir sungai, kehidupan kami tidak bisa dipisahkan oleh Sungai Manggar.
Sampai saat ini, Ipung masih sering mengajak saya memancing, menaiki sampan dayung, dan merenggek. Disetiap kami melakukan hal itu, kami selalu mengeluhkan "dulu sungai kita tidak seperti ini". Tidak banyak sampah. Tidak banyak sangkutan nilon pancingan karena renggek di pinggir sungai. Airnya jernih. Dan jika memancing, pasti ada saja ikan yang didapat.
"Sekarang sangat berubah. Dapat ikan yang besarnya tiga jari pakai udang kupas (udang yang kulitnya dikupas) saja susahnya minta ampun. Dan belum lagi lempar sekali , sudah banyak sangkutan. Ini belum lagi pasir jadi lumpur," keluh Ipung.
Kami pun kadang bercerita bahwa dulu, sekitar tahun 2005 ke bawah, masih bisa menikmati Sungai Manggar yang bersih. Â Kaki masih merasakan pasir pantai ; hasil memancing yang memuaskan ; Â melihat ikan karang yang mencari makan di pinggir ; dan hal-hal lainnya, yang membuat kami ingin kembali ke masa-masa itu.
Kadang, ketika kami berdua mengeluh, saya langsung "menembak".
"Bagaimana jika kita dalam sehari mengumpulkan sampah di pinggir. Bawa karung sambil kumpulin sampah."
Apa jawabnya?
"Malas. Ngapain. Hanya orang bodoh yang melakukan hal itu. Habis-habisin tenaga. Kita pikir pakai logika. Kalau hari ini kita kumpulkan sampah, sama saja bohong. Sehari kita kumpulkan sampah, sehari ada 30 karung berisi sampah yang dibuang. Dan kalikan itu dalam sebulan?"
Belum lagi sampah yang ada di Pasar Manggar. Hal yang paling utama, yang harusnya  diperbuat adalah bagaimana menyadarkan masyarakat agar tidak membuang sampah di sungai. Sayang sekali, saya dan Ipung, di Rukun Tetangga (RT) hanyalah masyarakat biasa. Tidak ada jabatan di instansi apa pun dan benar-benar :  rakyat jelata. Bahkan bukan seorang anggota dari kelompok yang secara hati-nurani bergerak di lingkungan hidup.
Ingin menyadarkan hati masyarakat pun sepertinya bukan keahlian kami, apalagi membuat semacam "tim relawan" yang bergerak untuk membersihkan sungai. Hal itu benar-benar bukan kapasitas kami. Apalagi harap maklum---budaya yang melekat di Indonesia, jika menegur seseorang, pasti orang tersebut akan bertanya kembali bahwa "Anda itu siapa, berani menegur saya?"
Sekitar bulan November 2018, ada 10 mahasiswi  dari Akademi Kebinanan Borneo Medistra yang telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di RT saya. Program-programnya sangat baik dan mereka begitu aktif di masyarakat. Mereka mengeluhkan mengenai warga sekitar yang membuang sampah di sungai. Mereka ingin membuat tempat sampah, namun hal itu ditolak karena sudah masuk dalam agenda pemerintah bahwa akan ada tempat sampah untuk warga sekitar.
Saya yakin mereka mau bergerak, tanpa 'embel-embel' pemerintah. Karena saya percaya, apa yang dilakukan oleh mahasiswa adalah murni dari hati-nurani, tanpa ada---embel-embel---bendera politik.
 Akan tetapi, mereka harus ikuti aturan yang berlaku di lingkungan yang mereka tempati. Alhasil, menurut penuturan salah satu mahasiswi itu, mereka, hanya bisa mengkampanyekan "jangan buang sampah di sungai" bagi anak-anak yang ikut bimbingan belajar gratis di posko yang mereka huni. Salah satu langkah yang positif, karena kalau bukan dari generasi muda, kepada siapa lagi kita akan percaya.
Harusnya, pemerintah menambah tempat penampungan sampah. Di tempat saya, di Kampung Trans, Â sudah ada ratusan kepala keluarga. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah tempat sampah.Â
Setahu saya, tempat penampungan sampah hanya ada satu, yaitu di rumah susun yang sekarang dijadikan tempat wisata. Sampah disitu pun selalu menumpuk. Tempatnya pun itu sangat jauh dari rumah warga. Jadi, secara instan,  warga lebih nyaman membuang sampah di sungai, dibanding pergi  ke tempat penampungan sampah. Tunggu air pasang masuk, buka pintu, langsung buang.
Taruhlah, di setiap kepala keluarga, dalam sehari menghasilkan 4 kg sampah organik dan non organik. Dikali 300 kepala keluarga. Jadi, 1.200 kg sampah dalam sehari.
Saya sangat cemas jika di jembatan itu tidak ditaruh bak sampah. Jika bak sampah tidak ada, maka wisatawan lebih leluasa buang sampah sembarangan.
Kami berdua adalah penikmat Sungai Manggar. Penikmat belum tentu tidak peduli. Hampir tiap kali memancing atau beraktivitas di sungai, sambil menghisap rokok, kami berdua selalu merenung dan kelihatan murung.
Jika ada relawan, komunitas, forum, kelompok, himpunan, organisasi, yang meluangkan waktunya gotong royong membersihkan sampah, terutama sampah di Sungai Manggar, saya pribadi, orang yang menyatakan siap membantu.
Jika saja membuang sampah pada tempatnya itu digaji, mungkin jarang ditemui orang membuang sampah di sembarang tempat. Â Padahal, kebersihan adalah pangkal dari iman. Tidak akan lagi ditemui paus memakan sampah. Nelayan menjaring sampah. Kail pancing mendapatkan sampah. Penyelam menemukan sampah.Â
Sungai Manggar, Balikpapan, 18 Januari 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI