Apa yang dikatakan Ayah saya benar dan saya bersyukur menggalinya secara langsung dengan orang yang terlibat.
Sekali lagi saya katakan, suatu kehormatan bagi saya pribadi bisa bertemu dengan orang Bugis diperantauan. Setelah teh tawar saya habis dan saya malam itu kami ingin istirahat karena besok pagi kami akan ke Bandara Juanda, Surabaya melalui jalur darat, saya pun pamit dengan Pak Hamsah.
"Semoga Persiba sukses. Dan semoga selalu diberikan kesehatan, Bang," kata Pak Hamsah.
"Bapak juga semoga sehat selalu dan semoga dilain waktu bisa bertemu kembali," balas saya.
Kami pun berjabat tangan, setelah itu saya kembali ke hotel. Di jalan menuju hotel, tiba-tiba saya mengingat perjuangan laksamana angkatan laut Kerajaan Gowa, Karaeng Galesong yang tidak sepakat dengan Perjanjian Bungaya pergi berlayar meninggalkan Makassar, dan di laut selalu merepotkan Belanda.Â
Hidupnya singkat, hanya 24 tahun dan bisa dibayangkan, diusianya yang masih muda itu dia berani menantang Belanda dan berkali-kali bentrok di perairan laut Jawa. Karaeng Galesong telah menjadi "penguasa laut" di Laut Jawa dan Selat Makassar. Bahkan ia berkoalisi dengan Pangeran Trunojoyo seorang bangsawan Madura untuk melawan VOC.
Tapi sayang, sejarah memang sering ditulis bagi para pemenang. Sampai-sampai saya tidak bisa membedakan yang mana dulunya pejuang dan pengkhianat. Mana yang benar-benar angkat senjata dan penjilat. Mana yang pro kompeni dan terus melakukan perlawanan. Keduanya hampir tidak bisa dibedakan, dimana seorang penjahat atau pengkhianat Negara diberi gelar khusus sebagai pahlawan.
Ah sudahlah, sejarah memang ditulis bagi para pemenang.
Ini hari terakhir saya berada di Sumenep. Besok pagi saya akan meninggalkan Pulau Madura. Mungkin suatu saat saya akan kembali. Harap saya. Namun tetap, daam hati yang palig dalam saya selalu merindukan akan kehadiran Mandar.
Balikpapan, 8 Agustus 2018.
BersambungÂ