Dari Wiji Thukul, ada hal-hal positif yang harus diserap bagi para pemuda. Ia hanya seorang buruh, tak tamat sekolah, bertubuh kerempeng, seniman yang selalu merenung, kemana-mana selalu membawa tas putih, bicaranya pun pelo. Apa yang mesti ditakutkan dengan orang yang mempunyai fisik---mohon maaf---tidak prima ?
Malam itu, Senin (14/5/2018), di sebuah ruangan yang gelap di lingkungan civitas akademika di Balikpapan, ada satu ruangan lesehan yang dihapit oleh kantin dan gedung kampus, telah dinyalakan proyektor. Malam itu, mahasiswa, pemuda dan pelaku seni menggelar nonton bersama film "Istirahatlah Kata-Kata", film yang menceritakan Wiji Thukul, bekas kuli pelitur mebel, aktivis buruh, dan seniman.
Pukul 21.40 Wita, film belum habis. Sebagian penonton menghayati film yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen. Di mana dalam film tersebut, kita akan diajak sisi pergumulan seorang Wiji Thukul yang selalu merenung, kelam, hati-hati, dan matanya merah-nyala, kala itu ia melarikan diri ke Pontianak, Kalimantan Barat.
Pas didialog  Wiji Thukul pinjam uang sama Martin Saregar, suasnaa nobar menjadi  gaduh karena lampu tiba-tiba saja dipadamkan.
Padahal, malam itu tidak mati listik (baca : mati lampu). Pihak penyelenggara nonton bersama langsung ke ruang petugas bagian penjaga kelistrikan.
Petugas tersebut mengatakan bahwa ruangan tidak dapat dipakai karena sudah lewat jam 22.00 Wita. Padahal, segala izin kampus sudah disetujui oleh pihak rektorat. Tak ingin mengecewakan penonton dan tamu yang hadir, nobar dialihkan di tempat parkir. Semua properti dan perlengkapan dipindahkan.
Sambil menunggu setting-an sound dan perlengkapan lainnya, pihak panitia penyelenggara mempersilahkan salah satu grup musik menghibur hadirin.
Tidak sampai 10 menit, tiba-tiba satpam yang bertugas di pos satpam, marah-marah. Suaranya nyaring dan meninggi. Katanya, sudah lewat jam 10 malam.
"Kalau tak bubar jam 10, saya yang akan bubarkan!" kata satpam.
Masih ada orang sok jagoan tanpa berpikir panjang. Kampus sebagai basic intelektual  kok masih kaku dan terkesan premanisme. Ini ada apa!
Semua bergerumul ke pos satpam. Mahasiswa cek cok dengan satpam. Meminta pengeritan pak satpam.
"Kami sudah mengalah. Dimatikan lampu di depan kantin kami pindah di ruang parkir. Sekarang, tidak dibolehkan lagi. Ini ada apa!" kata salah satu mahasiswa, yang sudah terpancing emosi.
"Ini sepertinya ada sabotase!" sambung mahasiswa lainnya.
Pak satpam tak terima karena dirinya dianggap mensabotase acara.
"Kalau berani di luar, dikira saya takut! Jam 10 malam acara harus bubar," kata pak satpam.
"Kami sudah pegang sura izin dari rektorat dan minta maaf!" ungkap mahasiswa yang satunya, menimpali.
Setelah lobi-lobi dan meminta pak satpam yang budiman menarik emosi dan tak bertindak semena-mena, akhirnya pak satpam itu tahu diri, namun dengan konsekuensi.
"Sampai jam 12," katanya.
Akan tetapi, nobar tak dilanjutkan. Mahasiswa dan pihak penyelenggara terlanjur emosi dan sangat kecewa. Mereka lebih baik menghentikan nobar dan melanjutkan untuk nobar plus kongko di luar mendiskusikan kebijakan lingkungan kampus yang tidak pro terhadap mahasiswa.
Saya jadi heran dengan kejadian itu, di mana semua sudah merasa seperti jagoan. Jika kaum bawah sudah melakukan hal-hal semacam itu, bagaimana kalau posisinya sudah di atas? Dan bagaimana orang yang berada di atas (si boss) Â menekan kaum bawah?
Mahasiswa Balikpapan
Sedikit cerita, tahun 2011-2015 saya pernah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi di Balikpapan dan sampai sekarang sedikit-sedikit mengamati pergerakan mahasiswa di "Kota Minyak". Perlu digaris bawahi, mahasiswa di Balikpapan berbeda dengan mahasiswa di Pulau Jawa.
Pertama, di Balikpapan, ada istilah mahasiswa pekerja, di mana mahasiswa pekerja ini adalah mahasiswa yang bekerja disebuah instansi perusahaan swasta atau negeri. Atau ada juga yang bekerja semata-mata untuk "batu loncatan" agar kesannya bukan seorang pengangguran.
Fokus mereka adalah bekerja, sedangkan kuliah, adalah tempat di mana si doski mendapatkan titel sarjana sebagai penunjang kenaikan pangkat atau karir dan kenaikan gaji---hal ini juga berlaku bagi seluruh mahasiswa.
Maka dari itu, kampus memberikan toleransi kepada siapa saja yang ingin kuliah, walaupun statusnya pekerja. Saya sepakat dengan hal ini, di mana semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang tinggi.
Jam kuliah mereka ada yang masuk pagi, sore dan kelas khusus. Kelas khusus adalah kelas Sabtu dan Minggu. Mayoritas, mahasiswa pekerja mengambil kelas sore dan kelas khusus.
Perlu digaris bawahi, fokus mereka adalah : "bekerja" dan kuliah : "demi selembar ijazah". Tak ada dinamika
dalam kuliah. Kerja dan kuliah. Tugas kuliah dikerjakan, dekat sama dosen--sebagai langkah diplomasi agar diperlancar--selesaikan skripsi, lulus. Tak ada kata pejuang-pemikir ; pemikir-pejuang.
Kedua, mahasiswa----dengan berat hati saya menyebutnya---kongko. Mahasiswa kongko adalah mahasiswa yang tak perduli dengan sekitarnya dan basic pergerakannya adalah di kantin. Mereka berpegang teguh pada prinsip semangat individualis santai. "Selama saya tidak diusik dan mengusik".Â
Alhasil, dosen jarang masuk tak diprotes, tugas-tugas kuliah semua tinggal copy paste di internet, tak mau tahu perkembangan kampus---apalagi negara, main hape di kantin dari pagi tembus siang atau sore tembus malam, uang kuliah naik tak dipermasalahkan. Dan lebih anehnya, mereka merasa pesimis dengan apa yang dilakukan oleh perjuangan mahasiswa.
"Ngapain demo. Bikin capek saja dan mending kerja, menghasilkan duit," celetuk mereka.
Ketiga, mahasiswa kekinian atau mahasiswa kids zaman now. Generasi ini muncul akibat pengaruh global media sosial yang menciptakan budaya dan bahasa tersendiri. Menyerang semua kalangan dan tak kenal umur dan usia. Budaya yang minim makna serta penggunaan bahasa slang.
Generasi ini sudah ada di kampus. Menjadi kegalauan aktivis, dewasa ini, di mana segala macam acara-acara yang melibatkan almamater mahasiswa dibuat main-main dengan bahasa kekinian yang minim makna namun tak bersifat kaku, santai, mudah dicerna dan global. Lebih menjengkelkan lagi, mahasiswa semacam ini dipelihara dan dibina oleh kampus lantaran mampu menarik massa dan dapat disetir kesana-kemari.
Lihat saja ketika ada acara seremonial kampus, mahasiswa seperti ini akan sibuk mengurus ini dan itu. Benar-benar manut ketika menjalankan tugas dari atasan agar menyiapkan keperluan ini dan itu. Jadi saya tak bisa membedakan, yang mana mahasiswa intelektual, atau hanya sebatas kids zaman now yang dipermak menjadi event organizer.
Keempat, mahasiswa aktivis yang kehadirannya selalu ada dan berada, tak lekang terkikis arus perubahan zaman, dan sangat dibutuhkan demi memperjuangkan hak-hak warga negara. Pro terhadap rakyat. Vokal dan berani menumbangkan penguasa yang tiran.
Ide mereka liar. Inovatif dan tak ingin ada banyak intervensi dari atasan atau orang yang mengkambinghitamkan mereka. Semangat merek, berpegang teguh pada semangat kolektif. Ide mereka adalah menegakkan idealisme, sebagai arah pemikiran progresif.
Bacaan dan diskusi mereka tak lepas dari buah pikir Tan Malaka, Soekarno dan pemikir-pemikir dunia yang berpedoman pada sisi humanisme dan revolusioner.
Soal style, mohon maaf, mereka jarang tampil parlente. Bahkan jarang mandi, kuat begadang, kuat kongko, ngopi, rokoan, dan setelan pun hanya 2/3 (baju bagus dua dan celana levis yang layak hanya tiga).
Kelima, mahasiswa dan lain-lain. Yaitu mahasiswa yang tak tahu arah dan tujuan mereka, kenapa menjadi mahasiswa.
Wiji Thukul dan Mahasiswa
Semangat Wiji Thukul pasti akan mengalir pada mereka yang masih berani melawan keadilan.
Mahasiswa tidak tinggal diam. Setelah kejadian tersebut, malam itu juga mereka membuat pernyataan sikap.  Mereka aksi menuntut hak-hak mahasiswa yang akan dilaksanakan Selasa (15/5) siang tadi. Ada tiga tuntutan mereka. Pertama, meminta kejelasan pemakaian listrik di kampus. Kedua, meminta institusi kampus memfasilitasi kegiatan mahasiswa. Ketiga, menuntut  staff kelistrikan di kampus diganti.
Saya belum dapat kabar terkait bagaimana keputusan final atau win win solution-nya bagaimana. Apakah ada kabar baik atau bagaimana. Namun, yang pasti, semangat mahasiswa jangan sampai redup.
Bagaimana kalau acara itu dibuat oleh kampus, yang mengundang presiden, menteri, gubernur, walikota, atau orang-orang penting lainnya. Seluruh staff akan sibuk dan manut dengan acara yang bersifat seremonial, seperti pembukaan ini, seminar profit atau non profit. Contohnya seminar kebangsaan yang didalamnya akan hadir pemateri dari pusat yang gelarnya banyak, atau sekelas anggota DPR dan tokoh-tokoh yang dikultuskan lainnya.
Mereka pasti akan bekerja secara ekstra dan bahkan di-setting agar setiap kekurangan di kampus dapat ditutupi sebaik mungkin. Seperti, penyambutan tamu mulai dari kedatangan hingga kepulangan, sewa penari, sewa baju adat, bayar katering, cetak banner, dan penyewaan lain-lainnya.Â
Alhasil, uang kampus yang dipakai untuk kegiatan itu akan terbuang sia-sia. Para staff pasti bekerja sesuai perintah atasan dan bahkan lebih-lebih tak disuruh pun bisa inisiatif sendiri (baca : cari muka).
Terus terang, saya yang malam itu hadir, kesal juga terhadap kampus tersebut. Padahal, acara nobar bersama Wiji Thukul itu sangat positif demi merangsang pemikiran mahasiswa dan pemuda dewasa ini.
Agar pikirannya  tak salah kaprah dan semakin sontoloyo bagaimana tak mengkultuskan semangat Dilan ke arah pemikiran. Lebih kritis dan bijaksana dalam mengambil kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat, serta tidak mencla-mencle terhanyut dalam semangat kids zaman now. Pemuda diajak berpikir dan mencerna ketika melihat ketimpangan sosial baik di daerah maupun yang berskala nasional.
Apakah pemutaran itu adalah sabotase bahwa pemikiran kiri akan bangkit kembali lantaran Wiji Thukul dulunya pernah terlibat ini dan itu, bla, bla, bla dan bla..... Jika seperti itu, menurut saya adalah pemikiran yang sangat picik.
Dari Wiji Thukul, ada hal-hal positif yang harus diserap bagi para pemuda. Ia hanya seorang buruh, tak tamat sekolah, bertubuh kerempeng, seniman yang selalu merenung, kemana-mana selalu membawa tas putih, bicaranya pun pelo. Apa yang mesti ditakutkan dengan orang yang mempunyai fisik---mohon maaf---tidak prima ?
Saya tak bisa banyak bicara apa yang telah diajarkan oleh seorang Wiji. Cobalah resapi setiap kata puisi yang Wiji tulis. Kata kuncinya hanya untuk menuntut keadilan, demokrasi, keberanian, dan kemanusiaan.
Seorang Pablo Picasso pernah menulis, seniman yang hidup dan bekerja dengan nilai-nilai spiritual tidak bisa dan tidak boleh acuh-tak-kacuh terhadap konflik yang mempertaruhkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan peradaban.
Lewat kata, Wiji Thukul mengajak pemuda bergerak.
Jangan kau penjarakan ucapanmu jika kau menghampa pada ketakutan
Kita akan memperanjang barusan perbudakan
Dan jangan sampai kampus menghalang-halangi dikau untuk berkereasi dan berani. Jika pemutaran film Wiji Thukul saja dilarang dan tak melawan, akan semakin banyak tercipta sarjana yang memble dan tak berpendirian.
Balikpapan, Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H