Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Satu Malam, di Jakarta (Tamat)

1 Mei 2018   22:44 Diperbarui: 2 Mei 2018   12:32 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami menaiki bemo. Suaranya bising, sopirnya kadang rem-rem mendadak, nyalip sana-sini, serta kadang saya dibuat kaget karena kursinya goyang-goyang ke depan. Tapi tetap asyik dan saya benar-benar menikmati suasana malam di Jakarta dan apalagi malam itu tak terlalu macet. Udara malam mengibas-ngibas rambut, serta yang dilihat adalah kerlap-kerlip gedung bertingkat, gedung-gedung apartemen, hotel, kantor, kementrian, birokrasi, atau gedung-gedung lainnya yang kata kawan saya itu adalah gedung yang angkuh. Lewat di depan Taman Ismail Marzuki. Masih banyak orang nongkrong dan penjual kaki lima. 

Terlebih dulu saya mengantar kawan saya ini ke apartemennya. Saya sangat berterima kasih sekali karena mau menemani saya menikmat malam di Jakarta. Saya katakan, jika main-main ke Balikpapan, jangan lupa beri kabar. 

Setelah itu, giliran saya kembali ke Hotel Grand Kemang menaiki bemo. Ia terus terang tak tahu di mana hotel itu. Kami ke sana berbekal google map. 

"Jangan terlalu main hape di dekat jendela, nanti ada jambret, Bang. Bahaya jauh malam begini," katanya, mengingatkan saya.

Saya mengajak ngobrol sopir.

Ia sudah 5 tahun menjadi sopir bemo. Harga gas bahan bakar 25 ribu. 25 ribu, itu sudah bisa narik penumpang keliling Jakarta. 

"Mutar-mutar kejar setoran Sampai capek, Bang."

Sampai hotel saya bayar 70 ribu. 

Sampai di kamar saya belum bisa tidur. Masih ada yang saya pikirkan, entah apakah itu. 

Terus terang, setiap kota yang pernah saya lewati, saya selalu merasakan bagaimana merasa terasing. Seperti tenggelam dalam bait puisi gombal, di mana kita merasa terasing dalam kerumunan malam, atau merasa sepi di tengah dinginnya malamnya malam. Ah, gombal sekali. Tapi begitulah hidup.  Dalam "Derai-Derai Cemara", Chairil Anwar  menulis, "hidup adalah menunda kekalahan". 

Chairil menuliskan puisi itu ketika merasa terasing. Mungkin Chairil mengingatkan kita agar lebih sadar. Kita lebih sering mempersiapkan diri dengan asuransi, rumah, mobil, berpakaian pantas, hidup layak, pendidikan, dan masih banyak lagi, yang berkaitan dengan keduniawian dan melupakan hal yang bersifat kerohanian. Kita lebih sering mengingat nama relasi bisnis dibandingkan menyebut nama Tuhan, lebih sering mengunjungi tempat hiburan ketimbang tempat ibadah, dan lebih sering meminta daripada memberi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun