ALFIANSYAH
Pada hakikatnya, mereka sudah lama ada dan berada di dunia ini, baik di masa lampau atau dimasa akan datang. Kehadirannya tak akan pernah luput dari keadaan sosial. Baik kelas sosial ke atas, menengah, hingga ke bawah sekalipun. Mereka hadir, hidup, dan bernafas, serta mencari kesempatan dalam kesempitan. Ada celah sedikit, langsung panah lancip akan menembus celah itu.
Biasanya, mereka ada, baik dengan bos di tempat kerja, lingkungan RT, pinggir jalan, ngumpul dengan orang penting, di warung kopi, bahkan sekelas bertemu calon mertua.
Tersenyum dipaksa, basa-basi, wajah dan tingkah yang dibuat-buat, yang membuat kita jengkel, muak, menghindar, atau... ah sudahlah!
Ya, begitulah orang bermuka dua. Memasang topeng dan dempul tebal di wajahnya. Dalam hatinya sudah ada gelap, sehingga yang ia bicarakan tak berarti apa- apa (basa-basi) dan senyum ikhlas itu benar-benar sirna.
Sebenarnya, orang yang bermuka dua tidak salah. Bayangkan saja, jika dalam dunia kerja sistem bermuka dua dihilangkan dan bahkan jika ketahuan bermuka dua langsung dipecat, bisa-bisa tak ada pembatas antara atasan dan bawahan. Pelayanan terpadu jadi tak maksimal karena menjunjung tinggi : senyum, salam, sapa.
Bisa-bisa kesepakatan win to win solution tak ada dalam mengambil kebijakan yang tepat. Bahkan antara si doi dan calon mertua pun tak akan sinkron karena keduanya sudah memasang muka kecut.
Jadi, pantas saja jika bermuka dua, memang benar-benar harus ada di dunia ini sebagai langkah diplomasi yang tepat, dan sama halnya dengan tegur sapa dan salaman para elite politik yang keduanya sedang bertikai. Keduanya bersalaman dengan senyum ringan, pepsodent, tapi dalam hati niat buruk sudah siap untuk menyusun konsep -konsep menjatuhkan.
Tak heran, jika ada orang yang tak masuk dalam tatanan nilai-nilai bermuka dua itu, akan dapat cibiran yang pedas. Mereka dianggap tak ramah. Tak baik. Pembualan. Tapi itu hanya perasaan subyektif pertemuan pertama, di mana orang yang tak pandai bermuka dua, hatinya pasti tak baik.Â
Ada baiknya perasaan mengira-ngira itu harus benar-benar dihapuskan, sebelum akhirnya benar-benar memahami orang tersebut, di mana ia jengkel dengan orang yang bermuka dua yang sangat dibuat-buat. Gelisah orang tak bermuka dua berkelanjutan, sehingga yang ditemui dari raut wajah bermuka dua itu akan dibalas dengan wajah datar, atau bahkan senyum sinis.
Tegur sapa bermuka dua itu dilakukan secara berlebihan, maka yang nantinya akan terlihat adalah basa-basi. Apa jadinya jika semua sudah melakukan hal itu, dimana basa-basi, tegur sapa yang berlebihan, serta hal-hal yang tak masuk akal lainnya sering dilakukan, apa tak membuang-buang waktu?
Media sosial memang tak ada habisnya dalam menyampaikan pendapat, kegalauan, informasi tak pasti yang didapatkan dari ujung dunia kemudian di-share, serta keadaan remeh-temeh lainnya yang membuat kita geleng-geleng kepala karena si doi kelewat narsis.
Dan media sosial pribadi pun adalah langkah awal untuk menyampaikan informasi orang bermuka dua. Sebagai catatan sejarah si doi, ia berfoto dengan orang-orang penting ini dan itu--apalagi jika sudah musim politik--agar ia bisa lebih dekat sama petinggi-petinggi untuk dapat proyek atau sekedar cari-cari "uang rokok".
Anehnya, foto di media sosial dijadikan bahan acuan bagi orang awam agar orang bermuka dua mendapatkan simpati dan empati, atau dengan sekelumit caption dan pengambilan angel foto yang ciamik, mampu menghadirkan maya, di mana salah satu orang di dalam foto itu mendapatkan tepuk tangan atau hujatan dari orang-orang awam.
Sangat gampang menemukan orang yang bermuka yang tak konsisten dengan apa yang dikatakan. Mencari kesempatan dalam kesempitan. Menghujat orang karena gagal dan tiba-tiba orang itu sukses, tiba-tiba bermuka dua itu "menempel" lagi.
Pada prinsipnya memang manusia adalah makhluk sosial, jadi sewajarnya jika bermuka dua itu dibutuhkan agar bisa menjalin relasi dengan kolega atau teman dengan baik. Dalam bersosial, egosentrisme memang mesti dihilangkan untuk mencari kebenaran personal.
Begitulah kira-kira jika tegur sapa berlebihan selalu dibuat-buat, apalagi disebarkan melalui media sosial. Sebenarnya hidup itu tak perlu dibuat-buat. Jika dibuat-buat, seperti hidup dalam kepalsuan yang hampa dan tak bermakna.
Balikpapan, 6 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H