Media sosial memang tak ada habisnya dalam menyampaikan pendapat, kegalauan, informasi tak pasti yang didapatkan dari ujung dunia kemudian di-share, serta keadaan remeh-temeh lainnya yang membuat kita geleng-geleng kepala karena si doi kelewat narsis.
Dan media sosial pribadi pun adalah langkah awal untuk menyampaikan informasi orang bermuka dua. Sebagai catatan sejarah si doi, ia berfoto dengan orang-orang penting ini dan itu--apalagi jika sudah musim politik--agar ia bisa lebih dekat sama petinggi-petinggi untuk dapat proyek atau sekedar cari-cari "uang rokok".
Anehnya, foto di media sosial dijadikan bahan acuan bagi orang awam agar orang bermuka dua mendapatkan simpati dan empati, atau dengan sekelumit caption dan pengambilan angel foto yang ciamik, mampu menghadirkan maya, di mana salah satu orang di dalam foto itu mendapatkan tepuk tangan atau hujatan dari orang-orang awam.
Sangat gampang menemukan orang yang bermuka yang tak konsisten dengan apa yang dikatakan. Mencari kesempatan dalam kesempitan. Menghujat orang karena gagal dan tiba-tiba orang itu sukses, tiba-tiba bermuka dua itu "menempel" lagi.
Pada prinsipnya memang manusia adalah makhluk sosial, jadi sewajarnya jika bermuka dua itu dibutuhkan agar bisa menjalin relasi dengan kolega atau teman dengan baik. Dalam bersosial, egosentrisme memang mesti dihilangkan untuk mencari kebenaran personal.
Begitulah kira-kira jika tegur sapa berlebihan selalu dibuat-buat, apalagi disebarkan melalui media sosial. Sebenarnya hidup itu tak perlu dibuat-buat. Jika dibuat-buat, seperti hidup dalam kepalsuan yang hampa dan tak bermakna.
Balikpapan, 6 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H