Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sarjana Muda yang Gagah

19 Februari 2018   09:02 Diperbarui: 19 Februari 2018   12:00 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sarjana Muda yang Gagah

Jogja adalah kota pelajar. Di mana seorang pemuda atau pemudi pergi merantau ke Jogja, demi menuntut ilmu menyandang gelar sarjana. 

Jika di kampung dirimu tidak diterima, baik oleh masyarakat, Jogja siap menampung, menjadikanmu lebih bijaksana dan dewasa. Dewasa dalam pemikiran dan tindakam. Dewasa dalam melihat sebuah realita kehidupan. 

Setiap tahun, ribuan mahasiswa dari Sabang sampai Merauke telah diberi gelar sarjana. Mereka mesti tahu diri, setelah dikukuhkan mendapat gelar sarjana, para sarjana muda itu mesti 

pulang ke daerahnya masing-masing. Mengabdi di kampung---atau secara garis besar bekerja,  entah ada yang menjadi pegawai negeri, enginering, notaris, guru, usahawan, atau tenaga ahli lainnya, sesuai dengan keahlian masing-masing. 

Tapi apakah setiap orang yang  lulus kuliah, semuanya akan bekerja sesuai dengan jurusannya masing-masing? Atau secara garis besar bekerja sesuai dengan penghasilan seorang sarjana, di mana sarjana dewasa ini dituntut segala hal karena faktor banyaknya dicetak sarjana tiap tahun dan hal itu berbanding terbalik dengan jumlah penduduk Indonesia?

Mungkin itu yang sering terjadi dengan para sarjana muda yang ingin kembali ke kampung halamannya masing-masing, namun bingung apa yang mesti dilakukan. Ingin kerja tapi lapangan pekerjaan sedikit, ingin usaha tak punya modal, ingin merantau ke kita orang tapi tak punya relasi, mau jadi petani tapi gencarnya minta ampun karena dapat umpatan bahwa "jauh-jauh kuliah dan habisin dana, tahu-tahunya pegang cangkul juga."

Tak heran jika sarjana muda, ujung-mentoknya pasti mendaftar menjadi pegawai negeri sipil, dimana ia mesti menyediakan uang 50 juta rupiah agar 'goal'. Atau, diam-diam buat LSM sebagai taring agar bisa 'nembak' pemerintah dan nilai plusnya  kucuran dana  akan mengalir, atau diam-diam bergerilya di bawah tanah agar dapat relasi di pemerintah, atau bisa jadi diam-diam menjadi tim suskes dengan  jurus yang paling jitu, yakni jurus ular.

Zaman memang sudah edan menuntut seseorang menanggalkan idealismenya untuk berpikir jernih, murni dan sehat. 

Alhasil, sarjana muda itu sebagian tak ingin pulang ke kampungnya, kecuali jika ada pendaftaran PNS. Atau, pergi ke kota orang, mengadu nasib  mencari kerja yang berpenghasilan layak, yang menghargai keringat jerih payah  ijasah seorang sarjana.

Kata-kata bijaksana mengatakan, setelah dewasa, Anda akan tahu kehidupan ini seperti apa.

***

Lulus kerja, berpenghasilan mapan, serta ikut diacara-acara penting yang berbau pembangunan desa. Minimal, ia dihargai sebagai seorang sarjana yang aktif dan selalu terlibat acara penting tentang pembangunan desa. 

Kawan saya ini baru saja mendapatkan gelar sarjana. Sudah satu tahun ia berada di kampung, namun karena beberapa hal, ia meninggalkan kampung tercintanya itu dan kembali ke Jogja untuk mencari kerja.

Pertama kali ia mendapatkan gelar sarjana, ia begitu dihormati oleh warga kampung karena selalu aktif

dikegiatan sosial. Seperti membersihkan sampah di pesisir pantai, ayun becak berisi buku-buku pelajaran dan ilmu pengetahuan sampai menempuh jarak berkilo-kilo meter demi menggerakkan budaya literasi agar warga kampung tak buta aksara, serta selalu membuka pintu lebar-lebar jika ada anak muda yang ingin belajar komputer dan menulis. Bahkan, kadang diwaktu luang membantu petani menanam padi. Mengajak warga untuk rapat terkait tentang pembangunan desa.

Semua itu ia lakukan selama satu tahun, tanpa meminta embel-embel upeti atau uang rokok. Semua itu benar-benar ia lakukan atas nama pengabdian kepada masyarakat.

Semua ia lakukan dengan tindakan, tidak dengan kongko-kongko orang pintar yang bermulut besar, di mana ia selalu menjungkirbalikkan teori demi proyek, yang hasil kerjanya nol persen dan sangat merugikan rakyat dan negara.

Mungkin ia adalah sarjana polos. Tapi, di mana lagi menemukan sarjana yang seperti Itu, di mana sarjana dewasa ini lebih egois untuk memikirkan dirinya sendiri bagaimana besok bisa hidup layak dan berpenghasilan mapan. Menjatuhkan seseorang demi kesuksesan. Licin untuk kejar proyek. Alhasil, sarjana dewasa ini akan selalu bermental memble.

Sudah satu tahun sarjana muda ini  melakukan gerakan sosial seperti itu. Namun, ia kali ini benar-benar dilanda krisis dan menuturkan bahwa ia merasa kehilangan di kampungnya sendiri.

Bagaimana tidak, segala kegiatannya kali ini tak dihargai. Becak yang ia ayun jarang dihampiri anak-anak, apalagi orang dewasa. Bersih-bersih pantai pun tetap single fighter bahkan dicap orang gila karena selalu membawa karung yang diisi sampah. Usulannya terkait diskusi setiap seminggu sekali membicarakan  permasalahan desa, kali ini benar-benar tidak dihadiri lagi. Memang, di hari pertama masyarakat berbondong-bondong hadir dan kawan saya itu  didengari karena ia adalah  sarjana. Apalagi, ia orangnya pintar dan bisa memecahkan solusi.

Tiba di bulan kedelapan, tak ada lagi yang hadir di acara diskusi. Mereka lebih memilih pergi ke sawah,  kebun,  melaut, istirahat, atau mencari kesibukan lainnya untuk cari makan.  

Lagi-lagi ia dicap sebagai orang gila. Permasalahannya pun menumpuk. Keluarga istrinya yang banyak menuntut itu,  kali ini terang-terangan mengatakan kalau ia  harus kerja yang jelas. Tiap hari tingal di rumah mertua selalu ngomel-ngomel dan mendapatkan wajah yang kecut. Padahal, istrinya menerima dia apa adanya. Namun namanya hidup berumah tangga, penghasilan adalah hal utama agar anak-istri bisa berpakaian layak, makan, dan hidup sejahtera.

Sebenarnya, setelah lulus sarjana ia sudah daftar CPNS. Semua tes ia lalui dan soal-soal tes ia jawab dengan mudah. Tiba di tes akhir, ada yang membisik bahwa kalau mau lolos CPNS mesti sediakan uang 50 juta. Ia termakan oleh idealismenya dan tak membayar 50 juta agar lolos PNS. Padahal, orang tua dan mertuanya sudah mberikan lampu hijau agar memakai uangnya dulu. Tapi ia tolak hal-hal itu dengan senyuman yang enteng dan nyaman.

"Kalau rezeki tak kemana," jawabnya.

Sampai pada pengumuman CPNS diumumkan. Karena tak sediakan uang 50 juta, semua pun sudah tahu jawabannya, yakni ia tak lulus. Tapi ia tak berkecil hati dan patah semangat. Justru ia tertawa dan bahkan menulis esai di surat kabar dengan judul : 

"Tak Usah diadakan Tes  CPNS".

Tulisannya itu pun sangat menggemparkan kotanya. Bahkan 

ditulisannya itu ia langsung "tunjuk hidung" siapa-siapa saja makelar calo yang terlibat. 

Ada yang pro dan kontra terhadapnya. Yang pro hanya sembunyi-sembunyi. Sedangkan yang kontra, lebih blak-blakan dan bahkan ia pun ditandai. Ditandai dalam arti, jika ada tes CPNS, ia langsung tidak akan diterima. 

Tapi, kala itu ia masih diterima di masyarakat. Seiring waktu berjalan, lagi-lagi masyarakat tak menerimanya. 

Maka dari itu, ia memutuskan kembali ke Jogja. Mencari pekerjaan. Entah pekerjaan apa, yang jelas kerja bisa menghidupi diri dan istri di kampung. 

Kali ini sarjana muda itu mendapatkan kerjaan yang penghasilannya lumayan. Lumayan dalam arti bisa hidup di Jogja, minimal bisa makan tiga kali sehari di warung burjo dan tiap bulan kirim uang ke istrinya. 

Tapi di dalam diri, ia selalu merindukan kampungnya itu. Ia ingin kembali, bahkan ia punya ide-ide jauh lebih gila dari sebelumnya. Seperti ingin membuka taman baca di atas bukit. Membuat sanggar seni. Membersihkan sampah dengan gerobak dan membuat aturan ke masyarakat terkait siapa saja yang membuang sampah di pantai, akan dikenai denda. Bahkan, ia ingin mengajak teman-temannya untuk menyebarkan virus literasi di kampungnya. 

Tapi apa daya, ia sadar bahwa ia adalah sebutir pasir yang berada di pantai yang luas. Jika ia balik ke kampung, tetap saja ia akan mendapatkan bahwa ia akan merasa terasing di kampungnya sendiri.

Terus terang, saya tak bisa mengatakan apa-apa ketika ia bercerita. Saya hanya bisa diam dan menyimak setiap cerita yang ia utarakan. Kapan lagi negara menciptakan sarjana yang seperti ini, di tengah-tengah masyarakat kita yang semakin hari semakin ingin cari "aman". Cari aman dalam arti tak ingin diganggu dan mengganggu. Dirimu adalah dirimu dan diriku adalah diriku. 

Mari berhubungan baik-baik dan jangan saling mengusik. Urusan gotong royong sudah ada iuran kampung. Soal maling sudah ada polisi. Soal korupsi sudah ada KPK. Soal negara sudah ada presiden.  Soal utang urus masing-masing. Soal perut urus masing-masing.

Tapi ada satu yang mesti dicatat untuk sarjana muda ini, agar kawan saya ini tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar humanismenya.

Mereka yang masih memegang teguh semangat sarjana muda, yang berlandaskan semangat moralitas, semangat sosial, yakinlah bahwa kalian tetap gagah. Saya selalu ampuh mengatakan kata-kata bijak. Tapi ini benar-benar terjadi. Jika yang kita tanam adalah kebaikan, pasti segala kelancaran duniawi suatu saat akan dilancarkan dan akan terima hasilnya itu semua. Yang diterima adalah kebaikan. 

WS. Rendra pernah menulis, gagahlah dalam kemiskinan. Setiap tindakan dan perbuatan yang dilalui, pasti akan ada balasan yang siap menanti di depan mata. Walau jaman sudah semakin edan, yaknilah pada prinsip itu. 

Jogja, 6 Februari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun