Lagi-lagi ia dicap sebagai orang gila. Permasalahannya pun menumpuk. Keluarga istrinya yang banyak menuntut itu,  kali ini terang-terangan mengatakan kalau ia  harus kerja yang jelas. Tiap hari tingal di rumah mertua selalu ngomel-ngomel dan mendapatkan wajah yang kecut. Padahal, istrinya menerima dia apa adanya. Namun namanya hidup berumah tangga, penghasilan adalah hal utama agar anak-istri bisa berpakaian layak, makan, dan hidup sejahtera.
Sebenarnya, setelah lulus sarjana ia sudah daftar CPNS. Semua tes ia lalui dan soal-soal tes ia jawab dengan mudah. Tiba di tes akhir, ada yang membisik bahwa kalau mau lolos CPNS mesti sediakan uang 50 juta. Ia termakan oleh idealismenya dan tak membayar 50 juta agar lolos PNS. Padahal, orang tua dan mertuanya sudah mberikan lampu hijau agar memakai uangnya dulu. Tapi ia tolak hal-hal itu dengan senyuman yang enteng dan nyaman.
"Kalau rezeki tak kemana," jawabnya.
Sampai pada pengumuman CPNS diumumkan. Karena tak sediakan uang 50 juta, semua pun sudah tahu jawabannya, yakni ia tak lulus. Tapi ia tak berkecil hati dan patah semangat. Justru ia tertawa dan bahkan menulis esai di surat kabar dengan judul :Â
"Tak Usah diadakan Tes  CPNS".
Tulisannya itu pun sangat menggemparkan kotanya. BahkanÂ
ditulisannya itu ia langsung "tunjuk hidung" siapa-siapa saja makelar calo yang terlibat.Â
Ada yang pro dan kontra terhadapnya. Yang pro hanya sembunyi-sembunyi. Sedangkan yang kontra, lebih blak-blakan dan bahkan ia pun ditandai. Ditandai dalam arti, jika ada tes CPNS, ia langsung tidak akan diterima.Â
Tapi, kala itu ia masih diterima di masyarakat. Seiring waktu berjalan, lagi-lagi masyarakat tak menerimanya.Â
Maka dari itu, ia memutuskan kembali ke Jogja. Mencari pekerjaan. Entah pekerjaan apa, yang jelas kerja bisa menghidupi diri dan istri di kampung.Â
Kali ini sarjana muda itu mendapatkan kerjaan yang penghasilannya lumayan. Lumayan dalam arti bisa hidup di Jogja, minimal bisa makan tiga kali sehari di warung burjo dan tiap bulan kirim uang ke istrinya.Â