[caption id="" align="aligncenter" width="603" caption="http://2.bp.blogspot.com/-tdiCK0pWb8s/TfNIPqGQt5I/AAAAAAAAAIQ/wHlGJh1JQvc/s1600/p09.jpg"][/caption]
Oleh : Loganue Saputra Jr & Indra
Alunan musik opera dari suara emas Luciano Pavaroti dan Andrea Bocceli dalam lagu Ave Maria menghanyutkan asap rokok yang terus mengepul di antara kedua bibir yang bergetar. Jo berdiri di teras apartemennya lantai 13, memandang kearah ujung cakrawala bagian barat, di mana matahari segera menghilang dan malam mencekam akan segera datang.
Aku akan menemukanmu. Aku akan pergi menemuimu. Jo berbaring di atas tempat tidur memandangi langit-langit yang menggelap. Segelap hatinya yang tak lagi punya tujuan hidup. Pengakhiran hidup menjadi pilihan yang gelap untuk menemui sebuah kepalsuan.
Senyap mata Jo perlahan menutup, memasuki alam mimpi membalik kesadaran menuju titik lain dari kehidupan.
Wilayah gurun pasir yang gersang berubah menjadi ladang lahar panas yang memerahkan wajah Jo. Teriakan, penderitaan, menghiasi setiap penjuru dari tempat yang lebih di kuasai oleh api panas itu. para iblis bersayap gelap menari dengan derita yang mengunci jiwa mereka dengan rantai panas dan tombak yang menembus tubuh.
Dan semua itu menghilang, menjadi kebisingan gerbong-gerbong kereta api yang melintas. Jo berdiri di seberang. Menatap kearah kerumunan orang yang berlarian memasuki gerbong kereta. Semua terlihat jelas dan transparan. Lalu sesosok lelaki bermata menyala menyelip di atara orang-orang yang berdesakan.
Kereta bergerak lalu menghilang di ujung lorong yang gelap, sunyi dan muncul lagi dalam hitungan waktu yang terasa cepat. Gerbong itu terbuka, kesunyian mengantarkan langkah Jo untuk maju memasuki gerbong. Pintu menggeser tertutup. Tak ada satu orang pun di sana, yang ada hanyalah serpihan kulit dan tulang belulang, darah dan bau-bau tidak sedap yang membuat Jo menutup indra penciumannya. Dia melangkah maju, menuju gerbong berikutnya, tak sempat sampai kesebelah langkah itu terhenti. Dari kaca bundar di pintu gerbong Jo melihat tiga sosok gelap, bermata merah bersayap tulang mengais setiap bagian dari tubuh seorang perempuan, memakan, mencabik dengan sangat berutal.
Jo mundur, kakinya bergetar. Dia berlari menuju pintu keluar, tapi kereta sudah bergerak lagi. Kepanikan itu semakin memuncak ketika pintu bergeser memperlihatkan tiga sosok iblis itu mendekat kearahnya.
Jo semakin panik, dia mundur hingga menyentuh ruang terakhir. Lalu cahaya datang dan membisikkan sesuatu di telinganya. “Lukas 10:18, Yohanes 13:2,” berulang-ulang kata-kata itu menggema hingga akhirnya membawa Jo kembali ke dalam raganya.
Keringat membanjiri jiwanya, nafas tak karuan. Yang terucap di mulutnya adalah. “Lukas 10:18, Yohanes 13:2,” dia tertegun sejenak.
Bergegas menarik laci mengambil sebuah alkitab, membuka lembar demi lembar dengan sangat gelisah. Lalu terhenti di sebuah halaman : Lukas 10:18 – Lalu kata Yesus kepada mereka. “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit”. Petir menggelegar, memancarkan kilatan yang menggetarkan bumi. Lembar di buka lagi dan berhenti pada halaman yang berbeda : Yohanes 13:2 - Mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia.
Jo berlari ke teras, menatap kearah jauh yang gelap. Lalu kilat menyambar lagi. Memperlihatkan sebuah cahaya jatuh dari langit di balik bangunan tinggi yang tak jauh dari apartemenya. Jo bergegas memasang jaket dan berlari menuju lantai dasar. Dia mengejar cahaya yang tadi dilihatnya.
Cahaya menyilaukan itu bergerak menjauh, di bawah sinar bulan cahaya itu mengkultus membentuk sesosok manusia. Sekujur tubuhnya bermandikan cahaya kemilau.
Jo terdiam di balik tembok bangunan yang sunyi. Matanya seolah dibalik oleh kenyataan, dan kenyataan di balik menjadi kegelisahan di dalam hatinya. Sosok bercahaya itu berpaling kearahnya, menatapnya tajam kemudian menghilang dalam pergerakan kilat.
Keadaan kembali sepi, hanya angin malam yang berhembus di antara dua gedung yang menimbulkan bunyi yang bisa didengar oleh Jo. Jo berpaling dan terkejut. Sosok cahaya tadi muncul di belakangnya. “Siapa kamu?,” tanya Jo hingga terduduk di jalan.
“Gebriel — Aku membawa wahyu dari Tuhan”
Jo bergetar ketakutan, mulutnya kalu untuk berucap.
“Karena kau bernait mengahiri hidupmu. Maka Tuhan memberikan pilihan atas kematianmu itu. Surga dan Neraka — 3 tentara Lucifer bebas dari neraka, mereka menjelma dalam jiwa manusia. Seperti janji Lucifer atas umat manusia, maka kehancuran untuk mengumpulkan tentara yang akan menemaninya di Neraka atas kebenciannya terhadap Adam yang telah membuat derajatnya merendah di mata Tuhan segera dimulainya, dimulai dari 3 tentara yang mewakili 3 dosa tak termaafkan. Kau lah yang terpilih. Menemukan Yudas Iskariot, anak Simon dan tentara terakhir Lucifer.”
Dalam penglihatan Jo yang menggelap. Bayangan itu berubah nyata. Dialah sang pemfitnah. Dialah jiwa dari Yudas. Bayangan penglihatan itu menelusuri sebuah lorong gedung, memasuki sebuah apartemen mewah, menelusuri setiap sisi dari kehidupan sepi. Lalu sosok seorang lelaki terlihat jelas, berendam di bak mandi dengan nuansa musik melankolis. Bayangan penglihatan bergerak menjauh, menuju kearah dompet yang tergeletak di atas meja tengah, membukanya melihat kartu identitas. ERIK. Wajah itu terekam sangat jelas. Penglihatan itu kembali menggelap, masuk kembali ke mata Jo dan sepi di tengah jalan yang sunyi, sendirian.
Seperti sosok kesurupan. Jo bergegas, dia tahu dimana Erik berada. Lantai teratas apartemennya terlihat lengang dini hari itu. Tanpa kesulitan Jo membuka pintu, menemukan tubuh Erik yang terkapar lelah. Bau alkohol tercium dari mulut Erik. Jo menatap sekeliling, dia menemukan asbak batu yang telah penuh dengan puntung rokok. Diambilnya asbak itu.
Dipukulnya kepala Erik berkali kali dengan asbak itu. Darah segar mengalir dari kepala Erik. Bau anyir mengiringi kematian sesosok pasukan iblis yang menjelma rupa manusia.
***
Sudah beberapa hari kedepan tak ada pertanda atas jiwa kedua dari tentara Lucifer. Jo menjalani kehidupannya seperti biasa. Walau seringkali dia selalu merasa was-was atas orang-orang yang ada di sekitarnya. Rasa curiganya menghantui keamanan jiwanya atas 2 tentara yang tersisa.
Suara tangis menghiasi lorong apartemen yang mulai sunyi. tangis itu berasal dari sisi lain di ujung tangga darurat. Jo kenal siapa sosok itu. Seorang perempuan yang tinggal di apartemen sebelah. Nama perempuan itu Lisa, mereka memang sering bertemu di supermarket yang ada di lantai dasar. Tapi sekali pun mereka tak pernah bicara.
Jo berdiri dari jarak yang tidak terlalu jauh. Dia menatap kearah Lisa yang masih diam bersandar. “Kau baik-baik saja?,” tanya Jo tiba-tiba.
Lisa tak memberikan jawaban. Dia bangkit dan menyapu airmatanya. Kemudian berlalu di depan Jo. Berlari menelusuri lorong.
Jo tidak mengejar.
Sehari kemudian Jo mendapati Lisa berdiri di teras apartemen. Jo yang berdiri di teras sebelah terkejut. Lisa yang sedang menangis menyondongkan dirinya menatap ke bawah yang jauh.
“Anda baik-baik saja,” tanya Jo dari teras sebelah.
Lisa menoleh kearah Jo kemudian beralih kembali ke bawah. Direntangkannya tanganya, lalu kakinya mulai melangkah menaiki pagar teras.
Jo gelisah, dia berlari ke apartemen sebelah yang tidak terkunci, pelan berjalan lalu menarik Lisa kembali ke dalam. Lisa berontak. Tapi cengkraman Jo lebih kuat. Kali ini Lisa hanya mampu menangis.
“Mengapa kau menghalangiku.”
“Karena kau bodoh ingin mengakhiri hidupmu — mengapa kau melakukan itu?.”
Mereka berdua duduk merapat pada diniding yang pucat. “Aku ingin menjebak Suamiku. Sudah beberapa hari ini dia tak mau pulang lagi. Dia telah berselingkuh. Aku ingin bunuh diri dan menjadikan dia sebagai pembunuhnya. Aku ingin dia merasakan begitu sakitnya apa yang aku rasakan.”
Jo menghela nafas panjang. “Itu tindakan bodoh — kau bunuh diri hanya untuk membalas apa yang telah suamimu lakukan padamu. Mengapa kau tidak membunuhnya saja.”
Mereka saling pandang dan berlalu dalam kesepian.
Malam ke 13 setelah pemusnahan jiwa tentara Lucifer pertama. Lagi-lagi hujan lebat berhiaskan pertir yang hampir sama dengan malam pemusnahan pertama. Jo berbaring dalam tidurnya. Mimpinya membuka penglihatan bayanganya menelusuri apartemen, membawa penglihatan itu keluar, berjalan mondar-mandir di lorong gelap. Kemudian membuka sebuah pintu, memperlihatkan sosok perempuan yang sedang duduk di shopa merah dengan sebuah pisau belati yang berkilau.
Penglihatan itu berbisik. Dialah sang pendendam dia lah jiwa dari anak Simon. Tentara Lucifer ke dua. Penglihatan bayangan berputar. Menuju pintu yang tertutup, menempuh sosok lelaki yang baru saja membuka pintu, menghilang dan kembali masuk ke dalam mata Jo.
Wajah penuh keringat, memperlihatkan Jo dalam kesurupan. Dia melangkah menuju target selanjutnya. Masuk melewati pintu yang tidak terkunci. Suara tangis menghiasi ruangan. Darah berceceran di lantai putih. Dan sosok perempuan terduduk di depan tubuh seorang laki-laki tertusuk pisau. Sosok lelaki itu tengkurap dengan mata membelalak dalam kekosongan.
Jo mendekat, lalu duduk di depan perempuan tadi. si Perempuan bangkit dan memeluk Jo, dia menangis ketakutan.
“Aku telah membunuhnya,” ucap perempuan tadi.
Pisau yang menancap di tubuh lelaki yang tidak bernyawa tadi dicabut oleh Jo. Pelan tangan itu memuluk perempuan tadi. “Saat kau membunuh apa yang kau rasakan?. Apa yang kau lampiaskan? — dendamkan?.”
Tak ada jawaban atas pertanyaan itu, tubuh itu melemah, pelukan itu terlepas. lalu tergeletak di samping lelaki yang di bunuhnya tadi. darah kedua pasangan itu mengalir bersamaan, menyatu di dalam bayangan gelap yang hilang dari titik kesadaran.
Jo pun melangkah pergi menuju lebatnya hujan dengan langit menghujam petir.
***
Di ujung kematian Jo berdiri. Di antara pecahan dimensi yang sulit untuk di terka. Kematian itu adalah takdir Tuhan, jika kita merintangi takdir itu maka sudah sejakpertama kita adalah bagian dari dosa besar yang tidak termaafkan. karena sudah mengelabui takdir Tuhan.
mata itu sudah memerah separuh. Di puncak apartemen yang masih sama berhiaskan hujan Jo merapikan topi hitam yang baru saja dipungutnya di jalan. Dia merasakan hawa jahat, menciumi rasa ketakutan karena dosa.
Mengapa Tuhan menciptakan banyak dosa?. Dulu pertanyaan itu selalu Jo lontarkan pada setiap doa palsunya. Dan saat ini pertanyaan itu dia ketahui sudah jawabanya. Dosa ada agar manusia lebih mengetahui begitu besarnya kuasa Tuhan atas dosa itu, Tuhan memberikan kehidupan bukan untuk di pergunakan semaunya, tapi untuk dipertanggungjawabkan. Apakah itu lewat dosa berhiaskan neraka atau pahalan berhiaskan surga.
Lalu pelan sayap itu mengembang. melebari udara, memperlihatkan bulu-bulu hitam yang basah karena hujan. Dengan anggunnya Jo terbang, mencari sang jiwa dalam relung kematian.
***
Di tengah jalan yang sunyi. di bawah hujan yang membasahi. Jo berdiri bangga, sebuah topi bundar hitam tergeletak di atas aspal. Basah tapi bisu menatap tajam ke mata Jo. Dengan pelan di pungut oleh Jo topi tadi, di pasangnya di kepala, tetes demi tetes hujan dari pinggir topi memperjelas tatapan Jo. di dalam hujan itu Jo bisa melihat sepasang sayap putih bergerak mendekat kearahnya
“Kau kah itu Gebriel?,” tanya Jo sambil tersenyum.
Sosok itu tidak memberikan jawaban.
“Dua dari tiga sudah aku musnahkan, yang tersisa hanya tentara terakhir — apa yang akan Tuhan berikan kepadaku sebagai imbalanya. Imbalan untuk tugas mulya yang telah aku lakukan, tugas yang kalian para malaikat pun tidak mampu melakukannya — Aku ingin meminta sebuah kehidupan atas kematian — .”
“Kau tak akan mendapatkan itu semua, kau hanya mendapatkan kehidupanmu, kehidupan barumu sebagai mahkluk seperti kami,” jawaban Gebriel terdengar sinis.
“Maksud mu, Aku akan diangkat menjadi tentara langit yang menjaga bumi — Menurutku bahkan lebih dari itu. Aku melebihi para malaikat seperti kalian. Akulah yang telah membunuh dua tentara Lucifer itu — sebentar lagi akan menjadi sosok yang hebat! bukan lagi Jo yang sering diabaikan. Bukan lagi Jo yang sering dianggap sebelah mata!.”
Hujan semakin melebat, begitu juga dengan petir yang tidak kunjung henti menyambar bumi. Dan sepasang sayap yang tadinya putih kini mulai memudar menggelap. Membuka telapak tangan yang terarah ke depan, semuanya mulai berputar, menempuh Jo, telapak tangan itu juga meluntur, berubah menjadi cakar-cakar
Sejenak Jo terdiam, berfikir…..tentara yang ke 3 mewakili kesombongan. Mata Jo berkunang kunang. Suara suara di dalam kepalanya begitu memekakkan. Kenapa?. Jo jatuh terduduk. Tiba-tiba badanya bergetar hebat, gema itu begitu jelas.
“TIDAK . . . .!!!!,” pekik Jo histeris. Dia baru sadar bahwa tentara lucifer terakhir adalah dirinya sendiri. Seperti rasa sombong yang seringkali mengalir dalam benaknya. Seperti bisikan dari bayangan yang memperlihatkan kenyataan yang ada.
Tubuh Jo tiba tiba tergeletak, darah mengucur dari lambungnya. Sebuah pisau tertancap. Petir tunggal kembali menyambar. Jo merasa jiwanya melayang terbang ke lorong gelap.
Tiba tiba muncul seraut bayangan Gebriel, wajahnya menyeringai puas. Dalam kepusingan, barulah Jo sadar….Gebriel…Gebrielah Lucifer itu. Gebriel yang menjerumuskannya…Gebriel yang secara tak sadar membimbingnya untuk menjadi tentara Lucifer ke 3, Jo yang Sombong! Rasa Sesal bertalu-talu dalam diri Jo.
Di Ujung lorong kehampaan Jo disambut Sesosok gelap yang bermuka bengis. Sosok itu mencengkeram Jo, kemudian Jo merasa tubuhnya di lempar …hawa panas mulai menyeduh tubuhnya, pintu neraka di ambang mata. Dan saat itu Jo sadar, dia akan segera bergabung dengan pengikut pengikut Lucifer lainnya, di neraka!
“Mengapa Tuhan tidak meolongku. Mengapa aku adalah tentara Lucifer?.”
“Sebenarnya kau bukanlah membunuh 2 tentara ku, tapi telah melepaskan 2 tentaraku dari 2 jiwa yang kelak akan mencetuskan taobat. Jika itu terjadi 2 tentaraku akan musnah. Maka dengan keinginanmu yang telah merintangi takdir Tuhan maka kau sudah menjalin perjanjian kematian dengan ku. Kematian yang merintangi takdir adalah kematian yang akan menajdi abdi abadi di neraka.”
“Aku hanya berencana dan belum melakukannya.”
Lucifer tersenyum. “Kau telah melakukannya. Dan akulah yang telah menghidupkanmu lagi setelah hari itu.”
***
28 hari yang lalu
Pisau itu telah menyayat nadi. Mengucur darah kental yang semakin lama semakin membeku. Dan jiwa itu mati, berusaha pergi mencari belahan hati.
Jiwa itu terangkat. Dengan hembusan jiwa Iblis jiwa itu kembali hidup. Hidup bagai mimpi, bagai baru terbangun dari tudur yang tidak terlalu panjang.
Dedaunan yang berserakan seakan terkikis oleh terpaan angin, membuat mereka menari di dalam keterbatasan gerak, menari di dalam jiwa yang tidak bernyawa. Sosok sendu yang tersisa berbalutkan jas panjang hitam dengan sejuta kepiluan. Hingga akhirnya langkah itu mulai menjauh dengan kepiluan yang tidak pernah hilang. Perasaan cinta itu selalu ada, tapi cinta itu terlanjur telah tiada. Dan pekuburan itu hening tanpa kata-kata.
Alunan musik opera dari suara emas Luciano Pavaroti dan Andrea Bocceli dalam lagu Ave Maria menghanyutkan asap rokok yang terus mengepul di antara kedua bibir yang bergetar. Jo berdiri di teras apartemennya lantai 13, memandang kearah ujung cakrawala bagian barat, di mana matahari segera menghilang dan malam mencekam akan segera datang. Dari cermin besar yang berada di samping tempat tidur, bayangan Jo sedikit pun tidak terekam.[]
NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.
Penulis: Loganue Saputra Jr & Indra (N0.124).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H