Hujan semakin melebat, begitu juga dengan petir yang tidak kunjung henti menyambar bumi. Dan sepasang sayap yang tadinya putih kini mulai memudar menggelap. Membuka telapak tangan yang terarah ke depan, semuanya mulai berputar, menempuh Jo, telapak tangan itu juga meluntur, berubah menjadi cakar-cakar
Sejenak Jo terdiam, berfikir…..tentara yang ke 3 mewakili kesombongan. Mata Jo berkunang kunang. Suara suara di dalam kepalanya begitu memekakkan. Kenapa?. Jo jatuh terduduk. Tiba-tiba badanya bergetar hebat, gema itu begitu jelas.
“TIDAK . . . .!!!!,” pekik Jo histeris. Dia baru sadar bahwa tentara lucifer terakhir adalah dirinya sendiri. Seperti rasa sombong yang seringkali mengalir dalam benaknya. Seperti bisikan dari bayangan yang memperlihatkan kenyataan yang ada.
Tubuh Jo tiba tiba tergeletak, darah mengucur dari lambungnya. Sebuah pisau tertancap. Petir tunggal kembali menyambar. Jo merasa jiwanya melayang terbang ke lorong gelap.
Tiba tiba muncul seraut bayangan Gebriel, wajahnya menyeringai puas. Dalam kepusingan, barulah Jo sadar….Gebriel…Gebrielah Lucifer itu. Gebriel yang menjerumuskannya…Gebriel yang secara tak sadar membimbingnya untuk menjadi tentara Lucifer ke 3, Jo yang Sombong! Rasa Sesal bertalu-talu dalam diri Jo.
Di Ujung lorong kehampaan Jo disambut Sesosok gelap yang bermuka bengis. Sosok itu mencengkeram Jo, kemudian Jo merasa tubuhnya di lempar …hawa panas mulai menyeduh tubuhnya, pintu neraka di ambang mata. Dan saat itu Jo sadar, dia akan segera bergabung dengan pengikut pengikut Lucifer lainnya, di neraka!
“Mengapa Tuhan tidak meolongku. Mengapa aku adalah tentara Lucifer?.”
“Sebenarnya kau bukanlah membunuh 2 tentara ku, tapi telah melepaskan 2 tentaraku dari 2 jiwa yang kelak akan mencetuskan taobat. Jika itu terjadi 2 tentaraku akan musnah. Maka dengan keinginanmu yang telah merintangi takdir Tuhan maka kau sudah menjalin perjanjian kematian dengan ku. Kematian yang merintangi takdir adalah kematian yang akan menajdi abdi abadi di neraka.”
“Aku hanya berencana dan belum melakukannya.”
Lucifer tersenyum. “Kau telah melakukannya. Dan akulah yang telah menghidupkanmu lagi setelah hari itu.”
***
28 hari yang lalu
Pisau itu telah menyayat nadi. Mengucur darah kental yang semakin lama semakin membeku. Dan jiwa itu mati, berusaha pergi mencari belahan hati.
Jiwa itu terangkat. Dengan hembusan jiwa Iblis jiwa itu kembali hidup. Hidup bagai mimpi, bagai baru terbangun dari tudur yang tidak terlalu panjang.
Dedaunan yang berserakan seakan terkikis oleh terpaan angin, membuat mereka menari di dalam keterbatasan gerak, menari di dalam jiwa yang tidak bernyawa. Sosok sendu yang tersisa berbalutkan jas panjang hitam dengan sejuta kepiluan. Hingga akhirnya langkah itu mulai menjauh dengan kepiluan yang tidak pernah hilang. Perasaan cinta itu selalu ada, tapi cinta itu terlanjur telah tiada. Dan pekuburan itu hening tanpa kata-kata.
Alunan musik opera dari suara emas Luciano Pavaroti dan Andrea Bocceli dalam lagu Ave Maria menghanyutkan asap rokok yang terus mengepul di antara kedua bibir yang bergetar. Jo berdiri di teras apartemennya lantai 13, memandang kearah ujung cakrawala bagian barat, di mana matahari segera menghilang dan malam mencekam akan segera datang. Dari cermin besar yang berada di samping tempat tidur, bayangan Jo sedikit pun tidak terekam.[]
NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.