Baru-baru ini, salah satu teman saya di sekolah pernah curhat di dekat saya dan teman-teman lainnya. "Eh, yang minta izin siapa nih? Jangan gue mestinya," ujar teman saya yang satu ini dengan muka agak polos.
Segera saya berbalik badan, melihat seorang teman saya yang lainnya. Mungkin karena dia termasuk salah satu anggota OSIS, saya hampir merasa perlu mengandalkannya dalam urusan minta izin.
"Eh, ****** (nama teman saya), yang masuk kamu dong."
Segera, teman saya melangkah maju, lalu mengetuk pintu kelas di hadapan kami dan segera dibalas dengan sahutan yang mempersilakan teman saya itu masuk. Tidak sampai dua puluh detik kemudian teman saya telah selesai meminta izin dari guru, kemudian memberi tanda bagi kami (yang memang berada di luar kelas) untuk masuk. Sejumlah teman saya yang lain tampak siap, seraya menggulung poster yang mereka bawa. Saat itulah pertama kali kami melakukan kampanye darat mengenai gerakan baru sekolah saya.
Singkat cerita, "perjalanan" kampanye kami di kelas-kelas kakak kelas dapat dikatakan berjalan dengan cukup lancar, meski kami keluar dalam keadaan agak berkeringat. Kami berpikir ini hanya hal yang lumrah, karena tokh, bersikap sopan kepada kakak kelas dan siapapun itu adalah hal yang biasa, hanya saja kami tampak agak terlalu mengkhawatirkan kesopanan kami.
Setidaknya mereka mendapat introduksi yang lengkap soal Pita Biru.
Masuk ke pokok pembahasan, Pita Biru adalah nama sebuah gerakan baru di sekolah saya. Bermula dari guru debat sekolah kami yang memang merupakan salah satu founder dari sebuah gerakan anti-korupsi, namun lebih cenderung fokus dalam mengajak para pelajar Indonesia untuk berbuat kejujuran. Berdasarkan apa yang telah saya temukan sejauh ini juga, beliau sendiri berpendapat bahwa ketidakjujuran yang dibawa sejak kecil merupakan perilaku yang menjadi bibit-bibit tindak korupsi.Â
Begitu juga dalam sebuah talkshow di mana beliau menjadi pembicara, beliau menyatakan bahwa tindakan tidak jujur di masa kecil seseorang bila tidak diperbaiki, mana orang itu kelak berpotensi menjadi orang yang tidak jujur dalam hidupnya, atau lebih parah lagi menjadi koruptor. Itulah alasan beliau mendirikan komunitasnya beberapa waktu yang lalu, dengan tujuan mengajak siswa-siswi Indonesia menjadi manusia yang berintegritas.
Pada sebuah pertemuan klub debat sekolah kami, beliau (atau lord, julukan para murid debat sekolah kami kepadanya) membicarakan sesaat perihal kejujuran. Pada saat itulah kami mulai membahas tentang sebuah gerakan, yang kelak akan dinamakan Pita Biru. Tujuan gerakan ini juga dibahas, juga soal pengusulan gerakan ini ke Kepala Sekolah untuk diaplikasikan ke sekolah kami.
Namun, apa sih sebenarnya Pita Biru itu?
"Warna biru adalah warna yang melambangkan kejujuran," kata sang lord. Sedangkan pita tentu saja adalah benda simbolik, menjadi sebuah bukti komitmen. Dalam gambaran besar, Pita Biru dibuat sebagai sebuah gerakan kejujuran di sekolah kami yang merupakan gerakan opsional, sehingga dapat dikatakan setiap siswa di sekolah kami dapat bergabung dengan gerakan tersebut (kelas berapapun mereka), namun juga tanpa paksaan. Tujuannya yang paling utama: memunculkan perilaku jujur di setiap siswa di sekolah, tanpa adanya pemaksaan. Nantinya, ketika Penilaian Akhir Semester (atau singkatnya PAS) diadakan, Pita Biru akan disediakan untuk siswa satu sekolah (namun mereka juga tidak akan dipaksa mengenakannya karena bersifat opsional) dan menjadi sebuah bukti komitmen mereka untuk bersikap jujur dalam PAS.
Tidak hanya itu juga, dengan adanya gerakan Pita Biru ini, direncanakan akan ada sebuah cara baru dalam menemukan siswa yang mencontek waktu PAS berlangsung. Cara ini melibatkan siswa yang telah berkomitmen untuk berbuat jujur dalam PAS (terlihat dengan yang mengenakan pita berwarna biru) dan pengawas. Ketika seseorang dalam ruang ujian mencontek dan seseorang yang mengenakan pita biru melihatnya, otomatis siswa yang mengenakan Pita Biru akan berdehem (yang disengaja).
"Eheman" itu akan menjadi sebuah alarm bagi pengawas untuk mengetahui adanya siswa yang mencontek tanpa sepengetahuan pengawas tersebut, lalu pengawas tersebut akan mencari pelakunya. Dalam titik ini, siswa yang berdehem tidak memiliki hak untuk mengatakan kepada pengawas siapa pelakunya. Hal ini tentu saja perlu diperhatikan supaya siswa berpita biru tersebut "tidak terlalu dimusuhi" temannya di luar ruang ujian. Siswa yang mengenakan Pita Biru hanya perlu melakukan dua hal: berkomitmen untuk tidak menyontek dan berdehem ketika melihat teman menyontek, tidak lebih.
Beberapa belas hari sebelum PAS dimulai, sang lord mengajukan gagasan gerakan tersebut ke Kepala Sekolah kami. Beruntung, tidak butuh waktu lama bagi Kepala Sekolah untuk memberikan lampu hijau. Dalam waktu singkat, gerakan tersebut disetujui kepala sekolah, Bimbingan Konseling, dan organisasi-organisasi intra sekolah seperti OSIS sendiri, MPK, dan Rohis sekolah. Dalam waktu seminggu itu juga, pengurus gerakan kami mulai membicarakan perihal kampanye, atribut Pita Biru, dan sejumlah hal lain yang perlu dipersiapkan sebelum PAS tiba.
Pendapat saya sendiri soal gerakan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan guru debat saya, sang lord. Jika bukan sekarang, kapan lagi? Saya sendiri juga percaya sesuatu yang telah menjadi kebiasaan di masa kecil pasti akan bertahan hingga masa dewasa. Saya menganalogikan ini seperti makanan. Jika saya semasa kecil terbiasa memakan makanan cepat saji, hal itu akan tetap terbawa hingga dewasa ketika saya menjadi pelanggan setia McD, dan berakhir dengan diabetes. Sama halnya dengan mencuri dan mencontek.Â
Sesuatu yang berciri kecil namun dikembangkan dan dipertahankan secara konsisten, kelak akan menjadi sesuatu yang besar. Saya juga tidak akan heran ketika salah seorang teman saya yang memiliki kebiasaan menciak bolpoin di kelas, mendadak pada suatu pagi saya melihat wajahnya di televisi, tertangkap basah mencuri saham perusahaan bolpoin. Namun hal ini pasti akan kembali ke setiap manusia di dunia ini. Jika dia ingin terkenal karena mencuri harta keluarga keturunan Karl Max, saya gak mau ikut campur.Â
Namun tentu saja saya akan jauh lebih menghargainya ketika dia terpilih menjadi kepala negara, dan bersikap seperti Jose Mujica. Namun sekali lagi, berbuat kejujuran akan kembali pada pendapat tiap-tiap orang, dan gerakan semacam Pita Biru hanya mencoba untuk menjadikan mereka orang yang baik-baik, dan tentu saja: masa depan keuangan Indonesia yang jauh lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H