Mohon tunggu...
Alfian Helmi
Alfian Helmi Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Sedang nyantren di Hokkaido University, Jepang. Cinta Indonesia :-)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Pangan Indonesia: Renungan Hari Pangan Dunia

16 Oktober 2011   22:30 Diperbarui: 11 Agustus 2016   04:24 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah dan tantangan pangan Indonesia semakin hari semakin kompleks. Pada satu sisi, peningkatan permintaan akan bahan pangan terus terjadi seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk serta meningkatnya daya beli dan selera masyarakat akan bahan pangan, yang dipicu oleh membaiknya kondisi ekonomi dalam beberapa tahun ke depan. Di sisi lain, penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya lahan, tambak dan air, akan menjadi kendala dan keterbatasan dalam meningkatkan kemampuan produksi komoditas pangan.

BPS, BAPPENAS, dan UNFPA (2000) memperkirakan pada tahun 2050, penduduk Indonesia mencapai 2,1 kali jumlah penduduk tahun 2000 atau mencapai 434 juta jiwa. Itu artinya perlu ratusan juta haktar lahan dan inovasi-inovasi baru dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan ratusan juta mulut rakyat Indonesia tersebut. Seandainya kebutuhan akan pangan itu tidak dapat dipenuhi oleh negara, maka cepat atau lambat dimungkinkan akan terjadi kerusuhan sosial yang luar biasa hebat terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan itu sendiri. 

Selain semakin terbatasnya kemampuan produksi untuk memenuhi permintaan, pangan nasional ke depan akan dihadapkan pula pada tantangan dalam menjaga stabilitas harga pangan dan masih belum meratanya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada produk-produk pangan impor, negara kita tentunya akan sangat rentan terhadap perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional. Gejolak harga ini bertambah buruk dimana belum meratanya pola distribusi antar daerah-antar waktu, dan juga  ditengah tantangan fenomena perubahan iklim yang mengancam jutaan petani di dunia. Instabilitas harga ini tentunya akan berdampak pada rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pangan dengan harga yang tinggi.

Industralisasi Pangan

Beberapa tahun kedepan, diperkirakan akan terjadi perubahan pola produksi dan distribusi pangan nasional. Yang semula berskala kecil beralih ke skala industri besar. Hal ini dilakukan dengan alasan efisiensi produksi dan permintaan akan pangan yang semakin meningkat.

Saat ini, di negara kita sudah mulai terlihat indikasi ke arah sana. Beberapa kebijakan sangat mempermudah masuknya perusahaan besar dan mengalahkan pertanian dan perikanan skala rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 27/2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana didalamnya terdapat HP3, dan masih banyak UU/PP lainnya yang berorientasi pada perusahaan besar. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka.

Di dunia internasional sendiri, 90 persen perdagangan pangan saat ini dikuasai oleh 5 MNC (Archer Daniels Midland, Cargill, Bunge), 90 persen pasar benih dan input pertanian dikuasai 6 MNC, dan 99,9 persen benih transgenik dikuasai 6 MNC, dengan Monsanto mengasai 90 persen di dalamnya. Sehingga, pada saat krisis pangan yang menimpa 36 negara di dunia terjadi pada tahun 2008, hal ini justru meningkatkan keuntungan MNC. Peningkatan keuntungan tersebut diantaranya diterima oleh: pedagang pangan dunia (55-189%), perusahaan benih dan herbisida (21-54%), dan  perusahaan pupuk (186-1.200%).

Di Indonesia, industrialisasi pangan ini sudah mulai dijalankan pemerintah dengan mengimplementasikan program Merauke Integrated Food and Energy Estate(MIFEE). MIFEEmerupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas (an integrated farming, plantation and livestock zone).Program MIFEEsangatmenarik minat pemodal asing karenamereka diberi banyak kemudahan untuk “memiliki” dan mengelola lahan di Indonesia. Usaha ini dinilai oleh beberapa kalangan justru bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Masyarakatlokal Papua dihadapkan padalompatan gaya hidup, dari“pola meramumenjadipola industriyang berbasistanaman pangan/perkebunan/peternakan - yang sebenarnya asing bagi mereka.Karakter pertanian dan pangan Indonesiaakan bergeser dari peasant-based and family-based agriculturemenjadi corporate-based food dan agriculture production.

FAO melalui laporan bertajuk "Lands Grab or Development Opportunity?: Agriculture Investment and International Land Deals in Africamengungkapkan: “sebuah negaraberinvestasi di lahan pertanian negara lainditujukan untuk mengamankan pasokan pangan dalam negerinya sendiri”.  Konsekuensinya:(i)Menempatkan negara-negara miskin pada posisi rentan dalam menghadapi ancaman krisis pangan. (ii) Selain petani akan terusir dari lahannya, dampak kerusakan ekologi karena pola intensive farmingbakal sangat merugikan.

Alternatif Solusi
Ke depan, tantangan industrialisasi pangan kita akan semakin nyata. Apalagi negara kita punya pangsa pasar yang amat sangat besar dan ditambah dengan kebijakan yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada pasar. Akan tetapi, kita perlu mencari jalan keluarnya agar industrialisasi pangan berjalan tidak hanya menguntungkan segelintir orang dan tidak mematikan pertanian/perikanan skala kecil yang diusahakan rakyat.
Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: (1) percepat reforma agraria; (2) Membangun kelembagaan kelompok-kelompok/koperasi/UKM dalam produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor pangan; (3) deregulasi kebijakan-kebijakan yang lebih mementingkan para kapitalis besar agar lebih berpihak pada rakyat.

Percepat implementasi reforma agraria merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan sebelum kita mengarah pada industrialisasi pangan. Reforma agraria merupakan bagian dari agenda untuk menciptakan keadilan sosial. Persoalan agraria tidak hanya menyengkut soal “tanah” atau “pertanian saja”. Istilah ini memiliki arti “wilayah” atau “tanah negara”, yang dengan demikian cakupannya menjadi sangat luas. Di dalamnya termasuk flora fauna, barang tambang, dan juga manusia. Pada dasarnya reforma agraria ini harus memiliki dua tujuan. Pertama, memberkan kepada sebanyak mungkin petani tak bertanah sejumlah tanah untuk dimilikinya sendiri, sehingga mereka pada gilirannya mampu meningkatkan produksi dari tanah-tanah tadi. Dan kedua, menciptakan syarat dan kondisi yang lebih baik bagi petani yang masih terpaksa mengerjakan tanah orang lain, sehingga bagi hasil yang diterima kian bertambah besar (Mubyarto,1983).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun