Mohon tunggu...
Alfian Rosiadi
Alfian Rosiadi Mohon Tunggu... Administrasi - Sang Pembaca

employees of local government

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Disruption Government" (Bagian-1)

24 Mei 2019   10:57 Diperbarui: 24 Mei 2019   11:19 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : suluh riau

Era Revolusi Industri 4.0 melahirkan sebuah era disrupsi (disruption era). Di masa ini internet of things menjadi sebuah kebutuhan pokok yang memicu terjadinya inovasi besar-besaran dalam kehidupan ekonomi, sosial dan bahkan politik suatu komunitas masyarakat. 

Tak kurang model-model bisnis konservatif menghadapi sebuah era "disrupsi" juga dengan menjamurnya bisnis-bisnis berbasis online. Kondisi yang menegaskan peribahasa klasik dalam sejarah peradaban makhluk hidup, adapt or die.

Perubahan besar dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sudah sewajarnya diikuti juga oleh pemerintah, selaku otoritas yang mengatur jalannya roda kehidupan warga. 

Masalahnya, di era sebelumnya di mana inovasi dan perkembangan teknologi informasi belum berkembang dengan sangat pesat, pemerintah masih belum bisa lepas dari permasalahan-permasalahan tentang buruknya kinerja birokrasi dan budaya-budaya feodal yang korup. 

Ditambah lagi dengan hadirnya era disrupsi, sudahnya seyogyanya pemerintah juga segera melakukan apa yang dinamakan , disruption government.

Mengacu pada buku Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik yang ditulis oleh Setiyono (2014), tren perkembangan pemerintahan sebetulnya juga sedang berada pada fase 4.0. Fase pertama, adalah fase dimana pemerintah didominasi fase monarki mutlak, dimana pemerintah berjalan sebagai pengatur rakyat dan aparat pemerintah mengabdikan kehidupannya untuk kekuasaan kerajaan dan kaum bangsawan. 

Fase Kedua, fase konsolidasi demokrasi. Fase yang terbentuk di antara revolusi prancis sampai dengan pasca perang dunia ke-II ini merupakan fase dimana pemerintahan lebih banyak berbentuk republik, dimana kekuasaan pemerintahan tidak didasarkan pada keturunan, tetapi ditentukan oleh suara dan keinginan rakyat yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. 

Fase ketiga, adalah fase marketisasi peranan pemerintah dimana peranan pemerintah berkurang secara signifikan dalam mengatur kehidupan sosial dan ekonomi rakyat. Pola pasar bebas mendominasi pada fase ini. Fase keempat, adalah fase entreperneurship government. 

Fase ini merupakan kelanjutan pada fase ketiga dimana dilakukan pula reformasi manajerial dengan melakukan perubahan pola pikir dan budaya kerja. Konsep terkenal dari fase keempat adalah New Public Management oleh Christopher Hood dan Entreprenurial Government oleh Osborne dan Gaebbler. Fase 4.0 inilah yang pantas disebut dengan fase Disruption Government

Disruption government merupakan sinergi antara revolusi industry 4.0 dan fase keempat evolusi birokrasi. Jika pada revolusi industry 4.0 produk-produk dan aktivitas ekonomi berubah (bahkan alat tukar juga bertransformasi menjadi alat tukar elektrik), maka produk barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah sedah sepantasnya juga berubah. Berbagai macam produk yang paper-based sudah harus diganti dengan produk electronic-based.

Untuk mewujudkan disruption government maka perlu diadopsi nilai-nilai entrepeneurship dalam menjalankan aktivitas birokrasi. Nilai-nilai birokrasi konservatif seperti legal-formal, hirarki, prosedur digantikan nilai-nilai baru seperti fleksibilitas, performance-based pay, kompetisi dan efisiensi. 

Konsekuensi dari diberlakukannya nilai-nilai entreprenurship ini adalah dihapuskannya model birokrasi weber yang cenderung kaku dan formal. Contoh riil dari model birokrasi ini adalah yang dilakukan California Park Department, dimana para pejabat dibebaskan melaksanakan anggaran demi tercapainya tujuan organisasi tanpa terikat sistem perencanaan anggaran yang mengikat pada setiap item belanja.

Disruption government membawa sebuah perubahan besar dalam sistem manajemen pemerintahan yang berdampak pada diperlukannya pengurangan besar-besar aturan legal, prosedur serta penghapusan sistem hirarki. 

Dalam kacamata birokrasi dewasa ini, kondisi ini memang dikhawatirkan menimbulkan celah besar yang dapat mengakibatkan penyimpangan, aktivitas di luar kewenangan, peningkatan praktek korupsi dan tindakan-tindakan pelanggaran hukum lainnya. Sehingga kata kunci dalam penerapan disruption government tidak hanya soal kompetensi, talenta, dan inovasi, tapi juga moralitas.

Kompetensi, talenta dan inovasi dari para individu dalam sistem disruption government memang seyogyanya diberi fleksibilitas dan kebebasan yang tidak lagi terkungkungan aturan dan prosedur yang kaku, sehingga diharapkan terwujud hasil kerja yang beroreintasi outcome tidak sekedar mengejar realisasi penyerapan anggaran. 

Mereka tidak dituntut memenuhi jam kerja secara kuantitatif, tapi diberi target kinerja yang terukur, jelas dan spesifik serta pemberian sistem kompensasi dan reward yang adil dan menjanjikan untuk mempertahankan talenta yang dimiliki organisasi. 

Fleksibilitas perlu diberikan kepada setiap anggota organisasi dengan bantuan teknologi informasi, sehingga mereka dapat bekerja tanpa harus terikat kondisi ruang dan waktu di tempat kerja.  

Kelonggaran yang diberikan bagi birokrasi di era disruption government, menuntu pemerintah untuk memiliki pegawai dengan moralitas yang kuat. Moralitas ini berisi karakter-karakter dengan integritas, kejujuran, semangat pantang menyerah, serta idealisme yang tinggi. 

Disruption government, jelas tidak memberi tempat bagi para pegawai yang berkarakter pragmatis, yang harus di-disrupt dari pohon birokrasi, karena sibuk meraih keuntungan illegal dari pengelolaan anggaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun