Sebulan yang lalu tepatnya pada 10 Juli 2021 saya dinyatakan terpapar virus covid-19 berdasarkan tes antigen. Klaim itu kemudian diperkuat oleh hasil PCR di Puskesmas pada 16 Juli.Â
Oleh pihak puskesmas saya diminta melakukan isolasi mandiri selama 14 hari sampai dengan tanggal 24 Juli terhitung mulai dinyatakan positif berdasarkan tes antigen.Â
Saya hanya diminta untuk isolasi mandiri lantaran saya hanya mengalami gejala ringan. Lagipula saat itu kasus covid-19 sedang tinggi-tingginya. Berita horor tentang penuhnya kapasitas rumah sakit merebak di mana-mana.Â
Takhanya rumah sakit, fasilitas kesehatan seperti puskesmas pun sudah kewalahan. Terbukti saya baru di-PCR oleh Puskesmas 6 hari setelah tes antigen. Itupun saya tergolong "beruntung" lantaran termasuk pasien dengan komorbid sehingga didahulukan.Â
Paket obat isolasi mandiri dari pemerintah pun baru saya terima seminggu setelah saya sembuh. Jadilah sampai sekarang obat itu utuh. Saya tidak kecewa.Â
Saya berpikir positif saja memang semua pihak sedang kelimpungan dengan terjangan virus covid-19 saat itu. Lagipula saya bersyukur sudah sembuh dan hanya mengalami gejala ringan saja.
Cerita singkat pada saat terpapar covid-19
Sedikit cerita, pada saat terpapar covid-19, gejala yang saya alami yakni demam pada hari ke-1 sampai ke-3. Setelah itu diikuti radang dari hari ke-2 hingga ke-4. Baru kemudian batuk.Â
Saya tidak mengalami anosmia (kehilangan penciuman dan perasa). Puji Tuhan juga tidak mengalami sesak nafas walaupun saya sebenarnya punya riwayat penyakit asma. Saturasi oksigen saya bagus. Antara 96-99.
Dinyatakan negatif covid-19 bukan berarti saya sudah sembuh total. Saya masih merasakan batuk yang kadang tidak tertahankan. Takhanya batuk, tiap malam menjelang tidur saya merasakan pernafasan saya agak sesak.Â
Alhasil saya mengalami susah tidur tiap malam hari. Terasa nyeri di bagian dada. Kondisi seperti itu terjadi saat mulai mapan tidur dengan posisi terlentang.Â
Maka saya menyiasatinya dengan menggunakan bantal yang lebih tinggi supaya posisi tidur saya membentuk kemiringan sekitar 30 derajat dengan harapan pernafasan bisa lebih lega. Berbagai macam obat batuk baik herbal maupun obat dari apotik sudah saya coba tetapi hasilnya nihil.
Memeriksakan diri ke dokter umum di klinik faskes pertama
Karena batuk tidak kunjung sembuh, pada tanggal 31 Juli atau seminggu setelah negatif, saya memeriksakan diri ke dokter di klinik faskes pertama. Saya menyampaikan keluhan berupa batuk serta sering mengalami sesak nafas kalau malam hari.Â
Saya mengungkapkan pada dokter bahwa saya adalah penyintas covid-19. Oleh dokter, saya diberikan tiga obat: dexamethasone sebagai antiperadangan, ambroxol sebagai obat batuk, dan salbutamol yang dapat diminum hanya pada kondisi sesak nafas.
Pemeriksaan lebih lanjut ke dokter spesialis paru di rumah sakit
Seminggu berlalu, namun tetap takada perubahan. Saya kembali lagi ke klinik yang sama. Kali ini saya meminta rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit.Â
Dokter klinik merujuk saya ke dokter spesialis paru. Tanggal 11 Agustus saya menuju ke rumah sakit dan diperiksa oleh dokter spesialis paru.Â
Keluhan saya masih sama, yakni batuk yang tak kunjung sembuh dan sesak nafas dimalam hari menjelang tidur. Saya juga mengungkapkan bahwa saya pernah positif covid-19 sebelumnya.
Apa yang dikatakan oleh dokter spesialis paru?
Dokter memberitahu saya untuk tidak khawatir. Beliau menyebutnya sebagai sisa covid atau dengan bahasa yang lebih umum yakni long covid. Long covid merupakan kondisi yang normal dialami oleh orang yang baru sembuh dari penyakit covid-19.
Dokter lalu meresepkan obat dan meminta saya untuk melakukan rontgen paru. Saya diminta untuk kembali lagi seminggu kemudian.Â
Obat yang diberikan ternyata sama dengan di klinik. Yaitu salbutamol, ambroxol, dan methylprednisolone. Obat yang terakhir ini sama dengan dexamethasone sebagai anti peradangan.
Tanggal 21 Agustus saya kembali kontrol ke dokter spesialis paru. Kondisi saya sudah lebih baik. Batuk dan sesak nafas walaupun masih ada namun frekuensinya sudah berkurang.Â
Sesekali kadang timbul, tetapi seringnya hilang. Dokter memperlihatkan hasil rontgen paru. Ia menjelaskan bahwa kondisi paru-paru saya bersih. Kondisi paru-paru tersebut baik.Â
Dokter mengatakan bahwa saya harus bersyukur karena pada penyintas terkadang ditemukan paru-paru yang terdapat bercak putih karena virus covid-19 memang menyerang paru-paru pasien. Penjelasan dokter ini berarti sama seperti yang sudah banyak beredar di internet.Â
Saya pribadi berpikir mungkin karena efek vaksin. Entah benar atau tidak. Tetapi beberapa teman yang positif covid-19 dengan kondisi sudah pernah divaksin juga tidak mengalami gejala yang berarti. Seminggu sebelum terpapar covid-19, saya memang sudah sempat mendapatkan vaksin pertama. Dokter kemudian meresepkan obat yang sama seperti pada pemeriksaan pertama.
Oiya, selain batuk saya juga merasa lebih cepat capek pasca sembuh dari covid-19. Kondisi serupa ternyata juga dialami oleh teman-teman yang pernah positif covid-19.
Saya bersyukur, saat ini kondisi batuk dan sesak nafas pada malam hari berangsur hilang.Â
Kalau saya hitung dari mulai dinyatakan negatif covid, maka kondisi long covid yang saya alami berjalan selama satu bulan. Sebelumnya dokter mengatakan bahwa long covid bisa berlangsung selama tiga bulan.
Demikianlah sedikit sharing mengenai long covid yang saya alami. Pengalaman ini barangkali bermanfaat.
Terima kasih dan salam sehat selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H