Mengikuti alur pelaporan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, saya pun langsung bergerak untuk melapor ke RT. RT melaporkan ke satgas Covid-19 di tingkat RW.Â
Lalu dari RW meneruskan laporan tersebut ke Puskesmas setempat. Entah bagaimana ceritanya, laporan saya sepertinya tidak diteruskan ke puskesmas.Â
Akhirnya istri saya berinisiatif untuk melapor sendiri langsung ke puskesmas. Hari ke-6 saya baru diminta datang untuk tes PCR. Namun saya tak mendapatkan obat maupun konsultasi dengan dokter. Begitu PCR selesai langsung pulang. Sepertinya puskesmas sendiri juga sudah kewalahan.Â
Hasilnya PCR baru diberikan keesokan harinya lewat pesan WA yang menyatakan bahwa saya positif tanpa diberikan hasil tesnya. Jadi saya tidak tahu berapa skor CT saya.Â
Agaknya ini kemudian yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa ya kok tidak diberikan hasil tes PCRnya? Tapi ya sudahlah yang penting saya sehat.
Sedikit cerita, pada saat awal saya dinyatakan positif, istri langsung konsultasi ke dokter. Saat itu obat-obatan sudah sangat sulit dicari. Di beberapa e-commerce, harga obat sudah melambung tinggi.Â
Akhirnya saya hanya melengkapi dengan vitamin dan beberapa obat yang masih bisa ditemukan. Satu lagi, saat itu istri saya mencari tabung oksigen.Â
Maklum, karena saya pernah punya riwayat asma jadi istri agak kuatir. Tapi alamak, harga tabung oksigen sudah berlipat ganda. Itupun habis. Beruntung dari gereja memiliki stok oksigen dan mengirimkannya pada kami. Puji Tuhan sampai akhir isoman, oksigen itu utuh tidak terpakai.
Mendapatkan cinta kasih dan dukungan yang luar biasa
Isolasi mandiri merupakan pengalaman yang kurang menyenangkan tetapi sekaligus penuh dengan cerita cinta kasih. Bagaimana tidak, dukungan mengalir tak henti-hentinya.Â
Ada banyak dari warga gereja, rekan kerja, rekan alumni kuliah, rekan-rekan Inspirasiana, sampai tetangga yang memberikan support moril dan materiil.Â