Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang baru dilantik, Sandiaga Uno memberikan sebuah terobosan baru dalam usaha untuk membangkitkan kembali dunia pariwisata yang kehilangan gairah pasca diterjang gelombang pandemi. Pak Sandi menggagas sebuah metode kerja baru yang ia sebut WFD (Work From Destination).Â
Bekerja sambil berlibur ke tempat wisata. Ide ini tentu saja layak diapresiasi. Ini merupakan inovasi yang sangat menarik. Disatu sisi pekerja nyaman dalam bekerja karena bisa sekalian berlibur. Pikiran fresh, ide-ide segar bisa bermunculan. Hmmm...siapa coba yang nggak mau kerja sambil berlibur.Â
Sudah liburan, dibayar pula. Kalau saya ditawarin ya terimakasih. Berangkat sudah. Perkara efektif atau tidak, itu belakangan. Lha wong disuruh kok.Â
Duhh, jadi kebayang beneran nih kerja di tepian laut Raja Ampat. Buka laptop sambil nyeruput kopi dan menyantap singkong rebus hangat. Buka-nya Kompasiana.. hahaha.. Mungkin Pak Sandi bisa ngomong ke bos saya?
Disisi pelaku wisata juga mendatangkan secercah harapan. Setidaknya membantu meningkatkan gairah bisnis wisata. Namun persoalannya, apakah semua pekerja bisa menerapkan WFD? Tentu tidak.Â
Karena kata "pekerja" terlalu luas maknanya, maka akan saya persempit lagi. Apakah semua pekerja kantoran bisa? Nanti dulu. Rasanya tidak semuanya bisa. Dugaan saya WFD bisa dilakukan untuk beberapa profesi ini:
1. Pekerja dibidang start-up
2. Pekerja dibidang multimedia
3. Marketing
4. Creative content
5. Digital
6. Youtuber
7. Penulis Kompasiana (?)
dan sebagainya.
Intinya semua pekerja yang bisa melakukan remote dari jauh. Artinya pekerjaan itu tetap bisa dilakukan walaupun tidak berada di tempat kerja. Media bantunya contohnya dengan menggunakan IT server atau zoom meeting.Â
Bila di perusahaan seperti tempat saya bekerja, saya bisa menyebutkan beberapa bagian yang mungkin bisa bekerja dengan menerapkan WFD. Yakni marketing, finance, accounting, dan PPIC (Production Planning & Inventory Control).Â
Mereka bisa melakukan pekerjaan dari jarak jauh. Efektifkah? Belum tentu, tergantung komitmen si pegawai. Yang pasti sih bisa. Minimal atasannya. Kalau stafnya ya tetap harus monitor langsung di area kerja. Coba kita kupas secara singkat.
1. Marketing
Tugas pokoknya berjualan. Menawarkan produk kepada konsumen. Jualan itu takperlu harus bertatap muka langsung. Bila perlu meeting, dengan media zoom pun bisa. Apalagi dijaman serba canggih seperti sekarang. Yang namanya marketing itu tidak datang ke kantor pun tak masalah. Yang penting order banyak.
2. Finance dan accounting
Keduanya berurusan dengan uang. Urusan perbankan itu saat ini cenderung sangat dimudahkan dengan teknologi. Urusan duit tidak perlu sampai harus on the spot. Teknologi bisa mengakomodasi semuanya.
3. PPIC
Ada dua tugas pokoknya. Mengatur penjadwalan produksi dan pengadaan barang. Minimal atasannya bisalah monitor dari jauh. Takperlu datang ke kantor.Â
Cukup stafnya saja yang memonitor jalannya proses di pabrik. Atasannya bisa tetap sambil happy-happy, nyanyi-nyanyi sambil minum kopi.. kalau yakin! Takutnya stafnya juga malah santai-santai ikutan happy-happy di kantor,hehehe..
Bagaimana dengan bagian lainnya? Tidak bisa! Harus tetap datang ke kantor. Seperti halnya saya, tidak mungkin melakukan pekerjaan dari luar kantor terlalu lama. Maksimal WFH (Work from home).Â
Itupun bergiliran 2-3 hari. Takbisa meninggalkan workshop (tempat kerja) terlalu lama. Jadi kalau mau WFD, kerja sembari liburan di Raja Ampat itu cuma sejauh mimpi sajalah.Â
Tidak hanya saya, pastinya ada beberapa profesi dengan kondisi kerja yang mirip seperti saya. Profesi sebagai engineer membuat saya tidak bisa berlama-lama jauh dari kantor. Pekerjaan saya sangat lekat dengan proses produksi barang mulai dari awal sampai akhir.
Ini alasan WFD tidak cocok untuk pekerja seperti saya?
1. Harus sering melakukan analisa dan pengamatan langsung di lapangan.
Problem solving atau pemecahan suatu masalah tidak bisa dilaksanakan dari jarak jauh. Harus langsung melakukan pengamatan di lapangan. Mana yang tidak sesuai. Mana yang mesti diperbaiki. Apalagi jika harus melakukan pengujian. Bagaimana bisa dilakukan dari Raja Ampat?
2. Dibutuhkan keputusan yang cepat bila muncul persoalan.
Keputusan yang cepat dan tepat hanya bisa dilakukan ketika kita menguasai kondisi di lapangan. Kalau hanya lewat laporan berisiko laporannya tidak sesuai kondisi aktual. Atau bisa jadi sesuai tapi kurang akurat. Keputusan yang diambil pun akhirnya tidak tepat. Masalahnya tidak selesai.
3. Perlunya memberikan arahan dan pengawasan kepada tim di lapangan.
Pengawasan mutlak dibutuhkan. Coba tanyakan ke Pak Jokowi atau Bu Risma, apakah beliau-beliau mau hanya menunggu laporan saja sambil leha-leha di pantai Kuta. Rasanya tidak.
4. Sering berhubungan langsung dengan bagian atau orang lain (service)
Contohnya saja front officer, personel HRD, staf gudang, dan costumer service. Mereka yang harus sering bertatap muka dengan orang lain.
Beberapa alasan diatas membuat WFD bagi saya dan beberapa profesi lain menjadi hanya sekedar angan-angan. Niat hati ingin WFD, apa daya pekerjaan menunggu untuk diselesaikan di kantor.
Kalau Anda bagaimana? Apa alasan tidak bisa menerapkan WFD?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H