Thomas, demikian saya memanggilnya. Usia kami sebaya. Kami tidak berteman sejak kecil. Kami baru bertemu ketika usia kami sudah cukup dewasa, 20 tahun. Ia adalah orang baru di gereja kami. Ia baru pulang dari perantauannya di Jakarta.Â
Sudah 2 tahun ia merantau dan bekerja disebuah perusahaan otomotif di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Ia kembali ke kampung halamannya di Solo setelah kontrak kerjanya habis.Â
Pertama kali kami bertemu kira-kira 11 tahun yang lalu disebuah acara Natal pemuda di gereja kami. Saya ingat betul, sosoknya sungguh amat periang. Itu pertama kalinya ia kembali ikut ke acara pemuda gereja.Â
Di Jakarta, ia praktis jarang menyambangi gereja. Di momen pertamanya itu, ia betah mengikuti acara hingga selesai. Natal pemuda di gereja kami memang biasanya digabungkan dengan malam tahun baru.Â
Jadinya semalam suntuk, lek-lekan (begadang) sampai pagi di gereja. Selain periang, Thomas sungguhlah orang yang ramah. Ia cepat sekali akrab dengan teman-teman gereja.
Melihat antusiasmenya yang tinggi, saya langsung berinisiatif untuk mengajaknya aktif mengikuti berbagai kegiatan kepemudaan dan pembangunan iman gerejawi. Tak perlu lama berpikir, ia langsung menyambut positif ajakan saya.
Hari demi hari, bulan berganti bulan. Saya dan Thomas menjadi semakin akrab. Ia kemudian saya ajak untuk mengikuti kelompok kecil yang kami sebut kelompok PA (Pemahaman Alkitab) atau di gereja lain ada yang menyebutnya Kelompok Tumbuh Bersama (KTB).Â
Thomas adalah orang yang rendah hati dan mau diajar. Ia mempercayakan pertumbuhan imannya untuk saya bimbing walaupun secara usia kami sebaya. Kami saling berbagi hidup. Dari situ kemudian ia banyak mencurahkan isi hati dan pengalaman hidupnya yang pahit.Â
Saya cukup kaget mendengar kisah hidupnya. Sama sekali berbeda dengan apa yang nampak secara fisik. Ternyata hatinya begitu hancur akibat didera luka batin yang mendalam karena konflik dalam keluarga.
Masalah pelik dalam keluarga