Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Perjalanan 25 Menit Jadi 5 Jam Gara-gara Banjir

24 September 2020   06:22 Diperbarui: 24 September 2020   06:46 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi macet banjir. Gambar: tempo.co

Ini adalah adalah sebuah pengalaman  "seru" kami. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman capek, sumpek, dingin, nyeri tulang, tumplek blek (baca: bercampur) jadi satu. Sumbernya satu, akibat macet cet di jalan karena banjir. Mungkin rekan-rekan K-ners diseputaran Jakarta juga pernah mengalami pengalaman serupa. Tinggal nanti bisa kita adu. Siapa yang lebih lama parkir di jalan karena macet banjir,hehe.. 

Kejadiannya belum lama. Masih di tahun ini, tepatnya di awal tahun 2020. Kira-kira mungkin sekitar bulan Januari. Memang waktu itu selama beberapa hari sering turun hujan lebat. Kami, saya dengan istri biasa pulang, start dari kantor istri jam 17.30. Hanya 25 menit perjalanan. Maghrib sekitaran pukul 18.00 kami sudah tiba dirumah. Itu biasanya. Tetapi hari itu sungguh spesial. Hujan memang sudah turun sedari pukul 12 siang. 

Lebat sekali dihiasi petir yang menyambar bersahutan. Menggelegar bagai auman singa ditengah rimba raya. Hujannya berlangsung lama hingga pukul 3 sore. Artinya 3 jam lamanya ia turun. Jangankan 3 jam, 1 jam hujan lebat saja sudah menyebabkan genangan dimana-mana. "Wah sudah pasti banjir ini" pikir saya. 

Dan benar saja, sejak pukul 3 sore sampai pukul 5 sudah banyak bertebaran berita dimedia sosial maupun lewat jejaring WAG daerah mana saja yang banjir. Sudah heboh pula kawan-kawan di kantor. Heboh karena bingung mau pulang lewat mana. Dimana-mana sudah terjadi antrian kendaraan yang tak bisa "menyeberangi" banjir. 

Sekedar info aja, di daerah saya tinggal di Tangerang kalau sudah banjir, beberapa alternatif jalan terendam sehingga sukar menentukan jalan mana yang akan dilewati. Mencoba memutar lebih jauh akan lebih cepat sampai. Tapi dengan catatan: kalau lagi beruntung. Kalau apes, cilaka duabelas, kasihan deh loe..

Perjalanan pulang pun dimulai...

Petualangan kami segera dimulai. Start dari kantor istri pukul 17.30. Dua kilometer pertama lancar kami lewati. Tetapi petaka kemudian muncul. Kendaraan sudah stuck tak bergerak. Benar-benar berhenti ditengah suasana dingin sehabis hujan. Maju tak bisa, balik arah pun tak bisa karena sudah penuh kendaraan. 

Padahal jarak rumah kami tinggal 8 kilometer lagi. Orang jalan kaki saja tidak bisa. Apalagi motor. Terlebih lagi mobil. Jadilah kendaraan parkir berjamaah di jalan. Mesin kendaraan dimatikan. Ribuan bahkan mungkin puluhan ribu orang hanya bisa diam termangu menunggu kemacetan yang tak kunjung ada titik temunya. Untung kala itu belum ada corona. Kalau ada, mungkin Tangerang sudah langsung masuk zona hitam dalam semalam! 

Pangkal muara kemacetan sebenarnya hanya karena genangan didepan kami sepanjang 50 meter. Genangan tersebut karena luapan sungai yang membelah jalan raya. Jadi genangan tersebut merupakan arus yang mengalir. Maka was-was juga kendaraan mau menerjang genangan tersebut. Sangat berbahaya. Rentan terbawa arus yang kuat.

Dari pukul 17.30 saya langsung loncat ke 3 jam kemudian saja ya kawan.. Kalau saya ceritakan menit demi menit takutnya anda bosan. Kira-kira pukul 20.30 malam mulai bisa jalan pelan-pelan. Air sudah mulai bisa dilewati. Jangan bayangkan kecepatan sepeda onthel. Kecepatannya sama seperti orang berjalan. 10 kilometer, eh bukan, 5 kilometer per jam. Endingnya, pukul 11 malam kami baru tiba dirumah. 

Remuk badan ini sobat... Perjalanan 8 km kami tempuh dalam waktu 5 jam. Kalau lagi pulang kampung dari Tangerang, 5 jam perjalanan itu saya sudah tiba di kota Pekalongan, Jawa Tengah yang jaraknya 380 kilometer! Dahsyat. Itulah perjalanan terlama saya dari kantor ke rumah. Kalau anda berapa jam terlama?

Pangkal Persoalan Macet..

Sebenarnya pangkal persoalan dari kemacetan ditempat kami bukanlah hujan. Hujan sudah berhenti sejak pukul 3 sore. Kondisi sudah terang. Tinggal menyisakan tiupan angin sepoi-sepoi. Sayangnya air tidak cepat surut. Itu masalah utamanya. Butuh waktu berjam-jam hingga air meresap kedalam tanah atau mengalir ke hilir. 

Air tersebut bertahan menjadi genangan. Genangan yang tak bisa dilewati inilah yang membuat kendaraan praktis tidak bergerak. Mencari alternatif jalan lain pun macet karena padatnya kendaraan yang tertuju kesana. Maka tiap hujan lebat dan lama, saya selalu terbayang macet horor. Benar, horor seperti si manis jembatan Ancol. Macet luar biasa. Si manis jembatan ancolnya juga kayaknya ikut capek mau nakutin kita.

Nah pertanyaannya, mengapa bisa terjadi demikian? Ini pertanyaan yang sama selama bertahun-tahun. Rasanya bukan hal baru bagi masyarakat sekitar. Setiap tahun selalu ada saja momen-momen viral seperti ini. Sesungguhnya mungkin persoalan banjir bukanlah persoalan yang tak bisa dicarikan solusi. Dari pengamatan pribadi, ada beberapa faktor penyebab banjir tersebut.

Pertama, sungai tidak cukup besar untuk menampung dan mengalirkan air ke hilir. Kondisi sungai sudah terjadi pendangkalan dimana-mana. Secara kasat mata, hal ini bisa dilihat pada saat kondisi kemarau dimana sungai mengering. Tidak hanya pendangkalan, tetapi juga penyempitan akibat banyaknya bangunan ditepi sungai. 

Kedua, di sepanjang selokan atau got terutama di kawasan industri nyaris permukaannya rata dengan badan jalan. Dampak dari sedimen yang cukup tinggi. Beberapa kali saya melihat pabrik dengan entengnya membuang limbah di selokan itu. 

Ketiga, sampah. Persoalan klasik di kota-kota besar. Meskipun sudah ada tulisan "dilarang buang sampah disini" tetap saja banyak yang membuang sampah disitu. Apa itu didikan orang tua atau memang karena buta huruf, saya juga kurang mafhum. Akhirnya sampah tersebut menjadi penyumbat jalannya air. 

Keempat, di beberapa tempat, walaupun tidak turun hujan, genangan air itu terus ada. Berhari-hari kemudian baru bisa kering. Malah ada yang menahun. Bukankah itu jelas karena sistem drainase yang kurang bagus didaerah tersebut?

Sesungguhnya masalah banjir itu klasik. Walaupun sepertinya sudah ketahuan akar persoalannya, namun saya kurang paham mengapa persoalan ini tidak kunjung selesai. Maka masyarakat seperti kami ini hanya bisa berharap ada keseriusan dari pemerintah. Baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kota. 

Bersinergi dan bersatu padu menyelesaikan persoalan banjir. Jangan ada ego sektoral seperti oh ini bagiannya pemeriksaan pusat, oh ini bagian Pemda dan seterusnya. Supaya masyarakat bisa lebih nyaman tenteram. Tidak selalu was-was serta waspada banjir datang setiap musim penghujan tiba. Apalagi dalam masa pandemi seperti sekarang. Jangan sampai jalanan penuh sesak dengan lautan manusia gara-gara macet. Apa nggak ngeri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun