Sekali lagi hamparan sabana berhasil membuat saya terpukau. Sayang sekali pemandangan ini tidak bisa diabadikan dengan smartphone saya karena tertinggal di tenda. Jalan yang kami lalui mulai melandai tidak seterjal jalur sebelumnya, dengan medan yang sama yaitu bebatuan yang disusun.Â
Kami sampai di Sendang Drajat pada saat matahari terbit, ini adalah tempat sakral berupa sumur yang terdapat mata air di dalamnya. Setelahnya kami berjalan menuju puncak, jalur berubah mejadi medan tanah berbatu. Akhirnya setelah perjalanan panjang kami sampai di Puncak Hargo Dumilah, titik tertinggi Gunung Lawu.Â
Puncak ini ditandai dengan adanya tugu yang berdiri kokoh di ketinggian 3.265 Mdpl. Tugu yang sangat terkenal di kalagan pendaki ini langsung menjadi sasaran utama objek foto yang harus diabadikan. Para pendaki pun silih berganti untuk befoto di depan tugu ikonis tersebut.
Setelah puas berfoto di puncak kami melanjutkan perjalanan menuju warung legendaris Mbok Yem. Namun sayang sekali ternyata Mbok Yem sedang turun gunung.Â
Wajar, kami mendaki pasca lebaran dimana menurut artikel yang pernah saya baca, Mbok Yem hanya turun gunung setidaknya sekali dalam setahun yaitu pada masa lebaran untuk merayakan hari raya Idul Fitri.
Tidak diduga ternyata teman kami yang tadinya memutuskan menjaga tenda kini menyusul kami lengkap dengan drone yang dibawanya. Drone pun lepas landas untuk mengabadikan puncak gunung dari udara.
Menjelang tengah hari, kami berberes tenda dan berjalan turun. Hal yang menarik selama di jalur pendakian Gunung Lawu adalah burung Jalak yang selalu menemani kami di semua pos dan jalur pendakian yang kami lalui.
Ketika menuruni pos 3, kami dikejutkan dengan rombongan pendaki yang sedang mengobrol bersama, tak disangka di tengah para pendaki ada sosok yang tidak asing bagi saya. Ternyata dugaan saya benar, beliau adalah Mbok Yem yang sedang kembali dari kediaman beliau menuju warung beliau di puncak Gunung Lawu.