Mohon tunggu...
Alfi Muhammad
Alfi Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sehat itu di Dapur, Bukan di Restoran

3 Agustus 2018   14:26 Diperbarui: 4 Agustus 2018   12:57 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa kita perlu ber- orientasi makan yang seperti itu? Oleh karena banyak masalah kesehatan muncul hanya karena kita keliru memilih menu. Salah satu kekeliruan dalam gaya hidup banyak dijumpai dari kesalahan mengisi meja makan. 

Penyakit orang sekarang banyak bermunculan juga karena soal makan yang tidak menyehatkan. Kemunculan kanker salah satunya. 

Lebih sehat masak sendiri

 Betul. Masak sendiri jauh lebih menyehatkan ketimbang beli makanan di luar. Masalah timbul karena kesibukan maka orang memilih beli makanan di luar, selain karena pertimbangan kepraktisan. Di Singapura nyaris semua orang makan siang di luar rumah, juga pertimbangan praktis, dan tidak perlu repot. Tapi menu restoran Singapura lebih menyehatkan, selain lebih higienis, lebih ketat regulasi pemakaian bahan tambahan dalam makanan (food additive). Hal ini dikarenakan metode dalam memasak di Singapura khususnya restoran diatur dalam undang undang agar tidak merugikan konsumen. Termasuk pelayanannya. Genset juga menjadi salah satu alat wajib di banyak restoran di Singapura sebagai backup daya listrik di sana.

Porsi garam dapur, pengawet, zat warna, pemanis buatan, dan lemak trans. Sisi ini yang di kita masih mencemaskan. Maaf, di kita keamanan makanan (food security) masih belum sepenuhnya diperhatikan. 

Itu maka kalau masih beredar kerupuk warna merah, atau saus tomat murah, atau sirup murah, dan minyak goreng yang tidak jelas, serta jajanan yang bahan bakunya dari pewarna tekstil, keripik dengan perenyah, atau mi dengan boraks, dan banyak lagi yang membahayakan kesehatan lainnya, masyarakat perlu diberi tahu Kita tidak tahu menu restoran yang biasa kita konsumsi apakah memakai minyak goreng jenis apa. 

Apakah minyak goreng yang dipakai beberapa kali, sudah berwarna hitam, jelas terbukti bisa mencetuskan kanker. Atau minyak goreng yang dicampur entah apa, selain kemungkinan memakai minyak trans, jenis lemak yang tergolong tidak menyehatkan itu. 

Selain itu, berapa banyak penyedap dibubuhkan? Apakah kecapnya dari merk yang terdaftar, apa garam dapurnya tidak berlebihan. 

Lebih dari itu apakah bahan bakunya benar barang pilihan, sayur mayur yang masih segar, dan bukan jenis yang rekayasa genetik (genetic modifed organisme). Ini sebetulnya masalah besarnya kalau kita memilih menu restoran, warung nasi, atau menu di luar rumah. 

Kita tahu yang paling harus diwaspadai dari makanan di luar rumah, apakah menu sarapan, makan siang, atau makan malam, selain secara keseluruhan belum tentu menyehatkan, zat tambahan dalam makanan itu benar yang kita harus takutkan. 

Food additive ini yang membahayakan kesehatan lebih dari sekadar bikin tambah gemuk. Kelebihan porsi lemak dan minyak goreng hanya berpotensi melebihkan berat badan, namun hampir semua, kalau bukan semua food additive di kita, sebagian belum tentu aman, yang lainnya mencetuskan kanker. 

Bahkan sekadar pemanis buatan saja sekalipun. Kendati bahan bakunya pilihan, dan terbilang masih segar, kalau salah mengolah, kelewat panas, kelewat berlebihan, sehingga menghilangkan sebagian zat gizi, atau nutrien yang terkandung. 

Itu sebab mengapa kita memilih bukan junk food, atau fast food, yang hanya menyisakan "ampas" dalam menu yang kita konsumsi. Selebihnya keuntungan memasak menu harian sendiri juga terkait soal selera. Kita bisa memasak sesuai selera keluarga. Lidah ibu biasanya terbawa sejak kita kecil menikmati masakan ibu. 

Makan bukan sekadar

 enak Kita cenderung mengejar enak atau lezatnya sebuah menu, bukan berorientasi apakah bersesuaian dengan kaidah gizi. Yang enak belum tentu bernilai gizi tinggi. Malah boleh dibilang, makin lezat suatu menu biasanya makin kurang menyehatkan. Beras tumbuk terasa kurang pulen dibanding beras giling yang disosoh dan berwarna putih bersih. 

Tapi beras tumbuk yang kurang pulen itu lebih menyehatkan. Lalu bekatul, ampas sisa penggilingan beras, kini sudah masuk apotek karena lapis kulit beras itu yang menyehatkan, tapi orang modern membuangnya jadi pakan ternak. Maka yang sehat ternaknya, manusia menjadi kurang sehat. Ubi jalar menu utama orang Okinawa, Jepang yang panjang umur, dan sekolah kedokteran Harvard belajar dari bagaimana orang Okinawa yang paling panjang umur itu memilih menu harian. 

Kita tahu ubi jalar rebus tidak lebih lezat dari donat, tapi ubi jalar lebih menyehatkan. Demikian pula halnya jajanan buatan pabrik yang kebanyakan memakai minyak trans yang tidak menyehatkan itu, umumnya lebih lezat ketimbang singkong atau kacang rebus. Kesimpulan kita mestinya tetap perlu berpikir, bukan mengikuti kata hati saja ketika memilih apa yang hendak kita makan. 

Anak di Singapura dididik cerdas memilih makanan, sehingga sampai dewasa mereka makan dengan kepala, bukan dengan hati. Pilih hanya yang lebih menyehatkan, menolak yang tidak menyehatkan

 Masakan rumah yang slow food

 Itu maka sudah lama muncul gerakan memilih menu "slow food" lawan dari fast food yang harus diakui kalau jenis menu fast food yang digandrungi itu tidak lebih menyehatkan. Prinsip memilih makanan yang menyehatkan selalu bertumpu pada alasan seperti itu. Kalau bisa dimakan mentah, kenapa harus dimasak. Kalau cukup dimasak sejenak, kenapa harus sampai mendidih. 

Kalau cukup sampai mendidih, kenapa sampai lodoh. Gudeg tergolong jenis menu yang kurang bergizi lagi karena dimasak berjam-jam, maka salad dinilai jauh lebih menyehatkan karena sama menyehatkannya dengan karedok. Bahwa bahan mentahan itu masih mengandung zat alami seutuhnya, dan sebagian hilang bila keliru menyiangi, keliru pula mengolahnya, sehingga sebagian, kalau bukan seluruh zat gizi yang dikandungnya menjadi hilang. 

Termasuk buah impor yang kita gandrungi, yang sudah dipanen sekian bulan sebelum kita konsumsi, diawetkan dengan bahan kimia, tentu jauh lebih berkualitas buah lokal yang kita petik sendiri dari pekarangan, jauh lebih murah, masih utuh seluruh kandungan zat gizinya. Keliru kalau masih memilih buah impor yang lebih mahal itu. Orang Korea memilih makan ikan mentah, orang Sunda doyan lalap mentahan. 

Kita melihat begitu beragam sayur mayur dan bahan menyehatkan di supermarket sekarang ini, bukti bahwa orang mulai cerdas memilih bahan baku yang lebih menyehatkan. 

Di supermarket kita bisa menemukan lidah buaya, talas, singkong, ubi, aneka kacang-kacangan, umbiumbian, selain lalap yang bisa dikonsumsi mentah, sebut saja tespong, randamidang, kenikir, poh-pohan, mangkokan, kemangi, pucuk mete dan pucuk pepaya, kecipir, dan banyak lagi dedaunan yang dimakan mentahan. Zat biotin dan klorofl masih utuh terkandung dalam sayuran mentah. Bahkan caysim, kacang panjang, daun salada, juga dimakan mentah di keluarga Sunda, sebagaimana tauge, ubi jalar, kol, untuk bahan karedok.

 Resep masakan nenek moyang kita = Jamu

Memasak menu harian sendiri menjauhkan kita dari daging olahan, sebagaimana yang dipilih dalam menu restoran. Sosis, nuget, ham, dan daging olahan lain, sudah beberapa tahun ini dilarang oleh WHO karena pertimbangan tidak menyehatkan. Maka kenapa kita masih memilihnya kalau masih ada ayam kampung, ikan laut, dan yang masih lebih alami lainnya. Perhatikan resep masakan nenek moyang kita. 

Kita beruntung karena menu karya nenek moyang kita jauh lebih menyehatkan melihat bumbu dan rempah yang dipakai. Untuk sayur lodeh, misalnya, lebih sepuluh bumbu dan rempah dipakai. 

Untuk rendang lebih 20 rempah. Kita tahu bumbu dapur dan rempah yang dipakai memasak menu nenek moyang kita sudah merupakan jamu tersendiri. Kunir, jahe, sereh, lengkuas, kencur, ketumbar, jinten, kepulaga, cengkih, temukunci, daun salam, semua itu bahan baku jamu juga. Jadi kalau kita mengonsumsi menu nenek moyang kita, dan bukan fast food bukan junk food, berarti kita sudah mengonsumsi jejamuan juga. 

Orientasi berpikir kita dalam hal makan yang perlu dibangun, kalau ada bahan baku yang alami, kenapa memilih yang diolah. Ikan laut lebih menyehatkan ketimbang ikan air tawar yang dibudidaya. 

Ayam dan ternak budidaya tidak lebih menyehatkan ketimbang ayam kampung, dan unggas liar. Madu dan gula jawa lebih menyehatkan ketimbang gula pasir. Pisang dan kacang rebus camilan pilihan ketimbang memilih roti, atau donat. Makanan kalengan tentu tidak lebih menyehatkan dibanding pepes teri, karena pertimbangan kandungan garam dapur serta pengawetnya. 

Maka kalengan harus menjadi pilihan terakhir, dalam keadaan darurat sedang tidak ada bahan baku untuk masak di rumah, namun tidak menjadi menu setiap hari. Lain dari itu semua, susahnya orang sekarang memilah, mana bahan baku yang bukan rekayasa genetik. Bukan wortel yang besar, melainkan yang sejari yang menyehatkan. Juga bukan kedelai impor yang rekayasa genetik melainkan kedelai lokal yang kecil. 

Di negara maju semua sayur-mayur dan buah rekayasa genetik atau GMO diberi label khusus sehingga konsumen diberi kesempatan untuk tidak memilihnya. Sudah ada bukti, hewan percobaan yang diberi konsumsi bahan baku yang GMO, berisiko kena tumor dibanding yang tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun