Mohon tunggu...
Alfi Muhammad
Alfi Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sehat itu di Dapur, Bukan di Restoran

3 Agustus 2018   14:26 Diperbarui: 4 Agustus 2018   12:57 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita melihat begitu beragam sayur mayur dan bahan menyehatkan di supermarket sekarang ini, bukti bahwa orang mulai cerdas memilih bahan baku yang lebih menyehatkan. 

Di supermarket kita bisa menemukan lidah buaya, talas, singkong, ubi, aneka kacang-kacangan, umbiumbian, selain lalap yang bisa dikonsumsi mentah, sebut saja tespong, randamidang, kenikir, poh-pohan, mangkokan, kemangi, pucuk mete dan pucuk pepaya, kecipir, dan banyak lagi dedaunan yang dimakan mentahan. Zat biotin dan klorofl masih utuh terkandung dalam sayuran mentah. Bahkan caysim, kacang panjang, daun salada, juga dimakan mentah di keluarga Sunda, sebagaimana tauge, ubi jalar, kol, untuk bahan karedok.

istockphoto.com
istockphoto.com
 Resep masakan nenek moyang kita = Jamu

Memasak menu harian sendiri menjauhkan kita dari daging olahan, sebagaimana yang dipilih dalam menu restoran. Sosis, nuget, ham, dan daging olahan lain, sudah beberapa tahun ini dilarang oleh WHO karena pertimbangan tidak menyehatkan. Maka kenapa kita masih memilihnya kalau masih ada ayam kampung, ikan laut, dan yang masih lebih alami lainnya. Perhatikan resep masakan nenek moyang kita. 

Kita beruntung karena menu karya nenek moyang kita jauh lebih menyehatkan melihat bumbu dan rempah yang dipakai. Untuk sayur lodeh, misalnya, lebih sepuluh bumbu dan rempah dipakai. 

Untuk rendang lebih 20 rempah. Kita tahu bumbu dapur dan rempah yang dipakai memasak menu nenek moyang kita sudah merupakan jamu tersendiri. Kunir, jahe, sereh, lengkuas, kencur, ketumbar, jinten, kepulaga, cengkih, temukunci, daun salam, semua itu bahan baku jamu juga. Jadi kalau kita mengonsumsi menu nenek moyang kita, dan bukan fast food bukan junk food, berarti kita sudah mengonsumsi jejamuan juga. 

Orientasi berpikir kita dalam hal makan yang perlu dibangun, kalau ada bahan baku yang alami, kenapa memilih yang diolah. Ikan laut lebih menyehatkan ketimbang ikan air tawar yang dibudidaya. 

Ayam dan ternak budidaya tidak lebih menyehatkan ketimbang ayam kampung, dan unggas liar. Madu dan gula jawa lebih menyehatkan ketimbang gula pasir. Pisang dan kacang rebus camilan pilihan ketimbang memilih roti, atau donat. Makanan kalengan tentu tidak lebih menyehatkan dibanding pepes teri, karena pertimbangan kandungan garam dapur serta pengawetnya. 

Maka kalengan harus menjadi pilihan terakhir, dalam keadaan darurat sedang tidak ada bahan baku untuk masak di rumah, namun tidak menjadi menu setiap hari. Lain dari itu semua, susahnya orang sekarang memilah, mana bahan baku yang bukan rekayasa genetik. Bukan wortel yang besar, melainkan yang sejari yang menyehatkan. Juga bukan kedelai impor yang rekayasa genetik melainkan kedelai lokal yang kecil. 

Di negara maju semua sayur-mayur dan buah rekayasa genetik atau GMO diberi label khusus sehingga konsumen diberi kesempatan untuk tidak memilihnya. Sudah ada bukti, hewan percobaan yang diberi konsumsi bahan baku yang GMO, berisiko kena tumor dibanding yang tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun