Mohon tunggu...
Alfi Muna Syarifah
Alfi Muna Syarifah Mohon Tunggu... Lainnya - Writer

I was active as Indonesian activist for Indonesian woman justice. Now, I split out my volunteer work became writer here. 😌| My study was focused in linguistic forensic for Indonesian law cases. Welcome and please enjoy my masterpieces!!!

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Orang Tua Durhaka Ditenggelamkan Sosial

22 Desember 2022   07:41 Diperbarui: 22 Desember 2022   08:08 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kelahiran anak, pertama-tama yang dikenalkan adalah orang tua sebagai manusia yang disegani karena penyebab atas kelahirannya di dunia. Seperti hutang yang wajib dibayar, itulah hutang anak kepada orang tua. Anak wajib membayar segala ‘budi pekerti' orang tua meskipun anak tidak tahu-menahu dan merasakan makna dari yang segala tersebut.

Istilah anak durhaka menjadi stigma terutama senjata bagi orang tua untuk ‘meludahi' anaknya. Dengan demikian, potensi anak melawan orang tua untuk membela diri sudah pasti dihilangkan. Inilah pembungkaman nyata yang merebut hak asasi anak. Wajib disadari, orang tua juga hanya manusia biasa yang memiliki kesalahan dan wajib bertanggung jawab tanpa syarat. Situasi sangat terbalik ketika istilah orang tua durhaka tenggelam dalam sosial. Sementara, anak durhaka terus diglorifikasikan. 

Berikut faktor-faktornya:

Baca juga: Namanya Perempuan

Ketidaksiapan menjadi orang tua

Menjadi orang tua tidak semudah membaca buku yang bisa dipahami dalam hitungan jam. Suami-istri yang memutuskan untuk memiliki anak menaruh harapan yang sangat tinggi agar anak patuh total terhadap semua tuntutannya. Dalam kasus kecil, yaitu anak dipaksa diam saat anak hendak berpendapat mengenai baju yang ingin dipakainya. Kasus tersebut pula tidak terlepas dari ancaman fisik seperti cubitan, pukulan, maupun barang-barang anak hendak dibuang.

Setiap manusia memiliki multiperan sebagai ibu, bapak, ipar, menantu, teman, anak, istri, dan suami. Ini akan menjadi nestapa bagi relasi seseorang terhadap dirinya dengan orang lain jika tidak bisa menangani mental secara bijak. Belum bisa berperan menjadi panutan, kehadiran orang tua tidak membuat aman dan nyaman anak, tidak bisa mendengar anak, mudah menghakimi anak serta sifat tidak tulus dalam memberi sesuatu kepada anak merupakan ciri-ciri orang tua yang belum siap memiliki anak bahkan berumah tangga.

Pemikiran tertutup

Pemikiran tertutup menjadikan orang tua merasa diri paling benar, pantang mendengar dan memahami anak, serta hanya berpegang pada aturan yang tidak jelas. Dalam memutuskan berumah tangga, orang dengan pemikiran tertutup paten mengikuti aturan sosial di mana manusia memiliki kadaluwarsa.

Perempuan harus sudah menikah sebelum usia 25 tahun dan laki-laki harus sudah menikah sebelum usia 30 tahun. Pernikahan juga sebagai parameter kedewasaan tanpa melihat perspektif luas.

Begitu pula ketika memiliki anak. Banyak orang tua tidak tahu tujuan memiliki anak. Mereka hanya berpegang pada prinsip bahwa tujuan menikah adalah reproduksi, memiliki anak berarti rejeki, dan anak wajib menjadi pengikut serta penjaga orang tua sampai meninggal dunia maupun dalam kehidupan akhirat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun