Bulan Juli Tahun 2021 nanti, Paul akan berusia 73 tahun. Badannya sudah rontok. Beberapa peyakit telah menggerogoti tubuhnya: salah satu katub jantungnya tidak berfungsi dengan baik, ginjal stadium tiga, struk ringan, asam urat jauh melebihi batas normal, gula tinggi, juga hipertensi. Ajaibnya, dia masih terlihat sangat sehat, dan bekerja seperti biasa. Setiap hari dia masih ke kebun untuk menyiram tanaman, dan pulangnya, dia tetap memikul kayu bakar. Jiwanya sehat, tubuhnya akan sehat.
Paul adalah seorang petani tradisional. Dia memili tujuh orang anak, termasuk saya. Tinggi badannya rata-rata. Pembawaannya cool, tetapi berprinsip. Hidupnya disiplin dan percaya pada penyelenggaran Ilahi. Paul tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi seperti anak-anaknya. Dia pernah sekolah sampai dengan kelas lima sekolah dasar. Bukan karena dia tidak mau sekolah, tetapi kondisi keuangan orang tuanya tidak memungkinkan dia sekolah. Namun, Paul sangat mencintai pendidikan. Dalam hati dan pikirannya selalu tertanam niat untuk menyekolahkan anak-anaknya.Â
Dia berjuang sangat keras untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Paul dan Vera istrinya, rela tidak makan lauk demi menabung untuk menyekolahkan buah hatinya. Mimpinya kini terwujud. Enam orang anaknya telah menyelesaikan pendidikan tingkat strata satu, bahkan dua diantaranya telah menamatkan gelar magister. Sorang lagi, tidak sekolah bukan karena Paul tidak mampu, tetapi saudari kami ini memilih jalan lain: tidak sekolah karena dia mau tinggal bersama Paul dan Vera. "Kalau kita sekolah semua, dan merantau, siapa yang akan menjaga Paul dan Vera?", kata saudari kami ini suatu waktu dulu.Â
Saya bersyukur pernah diberikan kesempatan merawat Paul. Itu terjadi awal hingga pertengahan Tahun 2020 lalu. Â Saya membawa dia ke Jakarta bulan Februari 2020, persis sebelum corona masuk Indonesia. Awalnya, saya mendapat telpon dari kampung kalau Paul jatuh di kamar mandi. Dia sempat tidak menyadarkan diri, dan setelah sedikit sadar, pembicaraannya tidak jelas. Keluarga di kampung kemudian membopong dia ke rumah sakit.Â
Saya menangis ketika mendengar berita itu. Bayangkan, dia memiliki lima orang anak laki-laki, dan semuanya tidak ada di sampinya saat dia menderita. Kelima putranya itu merantau: satu di Portugal, empat lainnya di Jakarta. Saya yang beberapa hari sebelumnya baru pulang dari kampung untuk acara tunangan, tanpa pikir panjang, langsung memesan tiket dan memutuskan kembali lagi ke kampung. Saya terbang ke Labuan Bajo sehari setelah Paul jatuh. Dia dirawat di rumah Sakit Santo Rafael Cancar, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kondisinya membaik saat dia tahu saya sudah tiba di Labuan Bajo. Setibanya di rumah sakit, kondisi Paul malah sudah sangat pulih. Dia sudah bisa bicara dengan normal, sudah bisa makan dan minum, dan malam sebelumnya sudah bisa tidur nyenyak.Â
Hari itu, dari atas tempat tidur rumah sakit, Paul bercerita banyak. Dia menceritakan kalau tiga hari belakangan dia tidak bisa tidur, dan tidak bisa makan. Nafasnya sesak, kepalanya pusing. Kaki kanannya tidak kuat menopang tubuhnya. Tetapi hari itu, kondisinya sudah pulih. Waktu dokter datang berkunjung, dokter menjelaskan kepada saya hasil ronsen jantung dan organ dalam Paul. Dokter menjelaskan kalau Paul mengalami gagal jantung, namun perlu dipastikan dengan konsultasi dengan dokter jantung dan diperiksa dengan alat yang lebih canggih. O ya, dokter yang merawat paul itu dokter penyakit dalam. Belum ada dokter jantung di Manggarai. Mendengar penjelasan dokter, saya bulatkan tekat untuk membawa Paul ke Jakarta.Â
Dua hari kemudian, Paul diperbolehkan pulang. Selah saya konsultasi dengan dokter dan meminta persetujuan saudara dan saudari saya, Paul akhirnya saya bawa ke Jakarta untuk berobat. Singkat cerita, selama dia di Jakarta, semua organ dalamnya diperiksa, termasuk kondisi sarafnya. Ternyata, dokter jantung menemukan katub jantung Paul bermasalah, yang mengakibatkan pompa jantungnya tidak maksimal dan aliran darahnya agak lambat, jauh dari normal. Paul juga memiliki asam urat yang tinggi: 14 miligram, dua kali lipat dari batas normal. Ginjalnya juga sudah rusak, stadium tiga. Tulang belakangnya sudah mulai keropos, dan Paul divonis kena struk.Â
Dokter menyarankan untuk operasi katub jantung. Namun, mengingat usianya sudah lansia, kami memilih tidak mengambil jalan itu atas persetujuan Paul dan Vera juga. Banyak pasien lansia yang mengalami sakit katup aorta, dioperasi, malah umurnya tidak lama. Resikonya sama saja. Opsi lainnya, Paul harus mengonsumsi obat terus selama sisa hidupnya. Kami memilih opsi kedua. Setelah semuanya selesai diperiksa, Corona melanda Indonesia. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan. Paul terjebak di Jakarta. Tidak bisa pulang. Bagi kami anak-anaknya, malah itu menjadi berkah, karena kami diberi kesempatan untuk merawat Paul.
Tiga bulan dia dirawat dan tinggal di rumah kakak saya di Bintaro. Dia rupanya bosan, karena tidak ada teman. Anak-anaknya yang lain serta ponakan-ponakannya tidak bisa berkunjung. Kami semua takut menjadi pembawa virus ke beliau. Setelah tiga bulan, dia meminta kepada kakak saya untuk pindah ke kontrakan saya di Rawasari.Â
Saya senang karena melihat dia tersenyum dan tertawa. Mukanya selalu berseri. Selain melihat tiga anaknya yang tinggal satu rumah, beberapa keluarga juga kami izinkan untuk datang bertamu menemani Paul, menjadi teman ngobrolnya. Setiap malam, saya memutar video lucu dari youtube. Ternyata, Paul sangat menyukai acara yang dibawakan Andre Taulani dan Sule. Paul bisa tertawa lepas. Hati saya sangat senang melihat Paul tertawa. Setiap hari, perkembangan Paul membaik, sudah bisa jalan tanpa tongkat atau kursi roda. Selama ada di kontrakan, saya biasanya mengorek masa kecil, remaja dan masa mudanya. Ternyata banyak hal yang menarik dari kehidupannya sebagai petani yang sangat percaya akan penyelenggaraan Tuhan.
Setelah enam bulan di Jakarta, Paul memutuskan pulang kampung. Dia rindu dengan kampung halamannya. Kami awalnya keberatan. Sebab, selama di kampung tidak akan ada yang merawat dia, dan pola makannya tidak akan terkontrol. Namun, Paul tetap berkeras untuk pulang. Daripada dia stres, kami akhirnya membelikan tiketnya untuk pulang ke Manggarai, Flores, bertemu dengan istri, anak perempuan dan cucu-cucunya. Rupanya, pulang kampung itu obat yang mujarab. Setelah menjalani karantina mandiri selama empat belas hari di rumah, secara ajaib, Paul bisa jalan kaki ke kebun. dia mampu menapaki jalan mendaki yang terjal sambil memikul kayu bakar. Padahal waktu di Jakarta, naik tiga anak tangga saja susah. Dia juga sudah bisa mencangkul
Kembali ke kampung halaman dan berada di tengah keluarga besar serta terlibat dalam setiap kegiatan keluarga membuat Paul bahagia dan pikirannya segar. Tanaman-tanamannya yang ada di kebun membuat dia termotifasi untuk cepat sembuh dan selalu berpikir sehat. Betul kata seorang Pujangga Romawi Decimus Iunius Juvenalis: mens sana in corpore sano.
Ketika pikiran Paul sehat, maka otomatis tubuhnya pun sehat. Suatu hari, dia pernah telpon untuk melapor perkembangan fisiknya. Dia bercerita kalau dia sudah bisa jalan kaki ke gereja yang jaraknya sekitar dua kilo meter dari rumah, sudah bisa ke kebun lagi dan bekerja, walaupun tidak bekerja berat seperti sebelumnya. Tetapi setidaknya, melihat kebun, menginjak tanah miliknya dan bekerja ringan di kebun ternyata membuatnya sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H