Arsil tidak memasang tarif khusus, karena hanya sekedar mengsi waktu. Kepada pelanggannya, dia hanya memberi tahu harga bahan. Untuk rak zig zag setinggi satu meter, misalnya, pemesan diminta membeli papan sekitar empat sampai lima meter seharga Rp 50 ribu.
Namun, sering teman-temannya yang memesan memberi uang lebih. Uang itu sebagian dia sisihkan untuk membeli peralatan tukang, sebagian lainnya diberikan kepada dua office boy LeIP yang kerap membantunya merangkai papan atau kayu.
Tukang kayu bukan profesi Arsil yang sesungguhnya. Dalam kesehariannya, Arsil adalah peneliti hukum. Dia juga mengajar mata kuliah hukum pidana di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera.
Banyak kebijakan di bidang hukum terutama di Mahkamah Agung hasil pikirannya. Keahliannya dalam bidang hukum membuatnya kerap disapa Profesor oleh rekan-rekannya. Buah pikirannya dalam bidang hukum, dapat kalian baca di blognya: krupukulit.com.
Apakah dia memiliki gelar akademik? Tidak! Dia tidak suka dengan gelar. Bagi Arsil, gelar akademik hanya menciptakan kaum feodal baru.
"Buktinya, orang-orang seperti saya, yang tidak memiliki gelar akademik, disindir dan dipandang sebelah mata. Orang-orang yang tidak memiliki gelar akademik nasibnya lebih tragis dibandingkan dengan orang yang tidak sholat atau ibadat," katanya sambil menyeruput kopi yang sudah dingin.
Arsil bergabung dengan LeIP sejak Tahun 2020. Perjalanan panjang dalam labirin penelitian hukum dan advokasi kebijakan ternyata membuatnya jenuh. Suatu ketika, untuk mengusir rasa penat, dia pergi ke Bali menggunakan sepeda. Sendirian. Dia mengambil cuti sekitar sebulan.
Dalam perjalanan panjang itu, dia banyak menjumpai  pemulung dan petugas kebersihan. Dia juga banyak berpapasan dengan tukang-tukang bangunan. Bagi pria pencinta kopi itu, pekerjaan orang-orang yang dijumpainya itu lebih nyata dibandingkan dengan pekerjaannya. Hal itu pula yang mendorongnya terjun ke pekerjaan tukang kayu.
"Saya membutuhkan hasil kerja yang nyata, yang bisa dilihat dengan kasat mata, yang bisa diraba,"katanya sambil memotret rak buku yang hampir jadi.
Karya-karya Arsil pun dilirik pegiat kemanusian dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Komisariat Tinggi PBB untuk Pengungsi. Mereka meminta bantuan Arsil untuk mempekerjakan pengungsi asal Somalia sebagai bagian dari terapi psiko-social. Sayangnya, pengsungsi asal Somalia itu belum bisa gabung di bengkelnya karena terkendala hasil rapit test reaktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H