Tidak menyelesaikan studi hukum tidak membuat Arsil berhenti berkarya pada bidang hukum. Dia mendedikasikan diri pada dunia penelitian dan reformasi hukum melalui Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), sebuah organisasi non-pemerintahan yang banyak bergerak dalam reformasi hukum dan peradilan di Indonesia.
Walaupun demikian, menjalani rutinitas yang sama dalam waktu yang cukup lama, ternyata membuat pria berdarah minang itu jenuh. Pekerjaan tukang kayu akhirnya digelutinya untuk menetralisir rasa jenuh dari pekerjaan meneliti dan mengajar.
Bunyi mesin pemotong kayu dari bagian belakang kantor LeIP terdengar sampai ke jalan raya. Sesekali bunyi mesin tenaga listrik itu diiringi suara tok tak palu yang membentur paku. Rabu (18/11/2020) pagi, Arsil membuat rak dari kayu.
"Ada dokter hewan yang pesan rak untuk menyimpan obat dan peralatan klinik," katanya sambil menepuk tangannya yang penuh dengan serbuk-serbuk kayu.
Pencinta musik metal itu mulai menggeluti dunia tukang kayu sejak awal tahun ini. Semua berawal ketika LeIP pindah dari perkantoran apartemen Puri Imperium ke  rumah berkuran cukup besar di Jalan Malabar, Guntur, Jakarta Selatan.
Halaman kantor yang luas membuka pikiran Arsil, awalnya untuk membuat taman bunga. Dibelinya beberapa potong kayu dan merangkainya menjadi rak bunga. Dalam waktu kurang dari seminggu, dua rak bunga berhasil dikerjakan.
Dua rak bunga yang indah itu menyulut semangatnya. Dia menyisihkan sebagian honornya sebagi peneliti dan pengajar untuk membeli perlengkapan tukang: gergaji manual, kayu, palu, alat serut, pahat, bor, meteran, dan pengukur sudut. Garasi belakang kantor dia sulap menjadi bengkel kayu. Peralatan ditata rapi di dinding.
Kebijakan bekerja dari rumah alias work from home (WFH) akibat Covid-19 yang menggerogoti indonesia sejak awal taun ini membuat Arsil semakin banyak memiliki waktu untuk mendalami hobi merakit kayu. Pria bertubuh kurus itu menyulap kantor menjadi rumah, karena memilih mondok di kantor.
Kerjanya pun lebih produktif, karena tidak perlu jalan jauh berjibaku dengan kemacetan lagi. Sejak karya pertamanya, Arsil telah menghasilkan banyak karya mebel. Ada meja dan bangku, rak buku berbagai jenis, etalase untuk kucing, rak tv. Semua hasil karya itu dia pajang melalui akun instagramnya.
Tak ayal, banyak temannya yang memberi apresiasi. Pesananpun datang silih berganti. Dalam sepekan, dia selalu menerima konsumen tidak kurang dari dua orang. Pelanggannya mulai dari teman kantor, pegiat hak asasi manusia, hingga beberapa pejabat negara.
Arsil tidak memasang tarif khusus, karena hanya sekedar mengsi waktu. Kepada pelanggannya, dia hanya memberi tahu harga bahan. Untuk rak zig zag setinggi satu meter, misalnya, pemesan diminta membeli papan sekitar empat sampai lima meter seharga Rp 50 ribu.
Namun, sering teman-temannya yang memesan memberi uang lebih. Uang itu sebagian dia sisihkan untuk membeli peralatan tukang, sebagian lainnya diberikan kepada dua office boy LeIP yang kerap membantunya merangkai papan atau kayu.
Tukang kayu bukan profesi Arsil yang sesungguhnya. Dalam kesehariannya, Arsil adalah peneliti hukum. Dia juga mengajar mata kuliah hukum pidana di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera.
Banyak kebijakan di bidang hukum terutama di Mahkamah Agung hasil pikirannya. Keahliannya dalam bidang hukum membuatnya kerap disapa Profesor oleh rekan-rekannya. Buah pikirannya dalam bidang hukum, dapat kalian baca di blognya: krupukulit.com.
Apakah dia memiliki gelar akademik? Tidak! Dia tidak suka dengan gelar. Bagi Arsil, gelar akademik hanya menciptakan kaum feodal baru.
"Buktinya, orang-orang seperti saya, yang tidak memiliki gelar akademik, disindir dan dipandang sebelah mata. Orang-orang yang tidak memiliki gelar akademik nasibnya lebih tragis dibandingkan dengan orang yang tidak sholat atau ibadat," katanya sambil menyeruput kopi yang sudah dingin.
Arsil bergabung dengan LeIP sejak Tahun 2020. Perjalanan panjang dalam labirin penelitian hukum dan advokasi kebijakan ternyata membuatnya jenuh. Suatu ketika, untuk mengusir rasa penat, dia pergi ke Bali menggunakan sepeda. Sendirian. Dia mengambil cuti sekitar sebulan.
Dalam perjalanan panjang itu, dia banyak menjumpai  pemulung dan petugas kebersihan. Dia juga banyak berpapasan dengan tukang-tukang bangunan. Bagi pria pencinta kopi itu, pekerjaan orang-orang yang dijumpainya itu lebih nyata dibandingkan dengan pekerjaannya. Hal itu pula yang mendorongnya terjun ke pekerjaan tukang kayu.
"Saya membutuhkan hasil kerja yang nyata, yang bisa dilihat dengan kasat mata, yang bisa diraba,"katanya sambil memotret rak buku yang hampir jadi.
Karya-karya Arsil pun dilirik pegiat kemanusian dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Komisariat Tinggi PBB untuk Pengungsi. Mereka meminta bantuan Arsil untuk mempekerjakan pengungsi asal Somalia sebagai bagian dari terapi psiko-social. Sayangnya, pengsungsi asal Somalia itu belum bisa gabung di bengkelnya karena terkendala hasil rapit test reaktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H