Apakah Kalian pernah mendengar kata gugatan sederhana? Atau mungkin kalian malah pernah berperkara di pengadilan memakai mekanisme gugatan sederhana? Baguslah kalau sudah pernah mendengar atau bahkan pernah menerapkannya dalam menyelesaikan permasalahan kalian.
Saya berterimakasih kalau sudah pernah memakainya. Sebagai orang yang turut membidani aturan tersebut, saya ikut bahagia. Apabila sangat membantu menyelesaikan persoalan anda, saya pun senang, karena kerja keras kami bisa meringankan beban orang lain. Semua orang memang harus tahu tentang aturan itu, biar tidak takut lagi menggugat orang di pengadilan.
Tetapi bagi yang belum tahu, boleh loh menanya mbah google atau membaca sampai selesai celotehan saya ini. Bahkan untuk yang sudah tahu sekalipun, boleh juga membaca sampai selesai, siapa tau ada informasi tambahan yang kalian belum dapat. Dalam tulisan ini, saya mau menceritakan perdebatan waktu merumuskan aturan tersebut. Tentu tidak semua, karena tidak akan cukup waktu, selain melelahkan untuk diketik. Mungkin suatu saat saya akan membuatnya berseri. Namun kali ini, saya hanya mau menyajikan perdebatan kenapa ada ketentuan "para pihak harus berdomisili dalam satu wilayah hukum."
Sebelum berbicara lebih jauh, saya mau menceritakan sedikit latar belakang regulasi itu lahir. Peraturan itu lahir tidak terlepas dari semangat Mahkamah Agung (MA) membantu pemerintah dalam menegakkan hukum kontrak di Indonesia. Dalam pandangan Bank Dunia, salah satu penghambat masuknya investor asing ke Indonesia adalah karena system hukum penegakan kontraknya sangat berbelit.
"Jual sapi untuk mendapatkan kambing', begitulah kira-kira istilah yang sering didengar. Artinya, piutang cuma Rp 100 juta, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan Kembali uang itu kalau diurus melalui pengadilan bisa mencapai Rp 200 juta, karena harus biaya pengacara. Dan, waktu yang ditempuh tidak jelas. Bisa setengah tahun. Bisa setahun. Bisa dua tahun, bahkan bertahun-tahun, karena prosesnya sampai ke MA.
Pemerintah awalnya mau membentuk undang-undang hukum acara perdata. Namun, itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Boro-boro membahas UU hukum acara perdata. KUHP dan KUHAP yang sudah lama dibahas saja belum kelar sampai sekarang. Nah, untuk menutup kekosongan itu, MA berinisiatif membantu sesuai kemampuannya, lantas mencetuskan ide menyederhanakan proses berperkara kasus perdata di pengadilan. Jangka waktu penyelesaiannya juga harus diatur biar ada kepastian. Namun, tentu tidak semua kasus perdata cocok melalui mekanisme itu.
Maka, dibuatlah penelitian untuk mencari mekanisme apa yang cocok. MA menggandeng Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) untuk membuat kajian awal. Kebetulan saya terlibat mewakili LeIP.
Singkat kata, berdasarkan hasil penelitian kami waktu itu, kami mengusulkan mekanisme gugatan sederhana. Kami mengambil semangan mekanisme yang sama yang sudah lama diterapkan di negara lain, seperti Belanda, Amerika, Australia, dan banyak negara lainnya. Di negara-negara itu, mekanisme gugatan sederhana dimaksud lebih dikenal dengan sebutan small claim court.Â
Di sana ada pengadilan khusus yang menangani sengketa-sengketa sederhana yang nilai kerugiannya sangat kecil. Nilainya berbeda-beda tiap negara. Kami waktu itu tidak mebuat pilihan untuk membentuk pengadilan khusus, karena tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Kami akhirnya hanya mengusulkan untuk menyederhanakan proses yang ada dalam  Herzien Inlandsch Reglement (HIR), aturan yang selama ini menjadi pedoman menyelesaikan perkara perdata di Indonesia, yang berlaku sejak zaman kolonial.
Salah satu kelemahan yang kami temui, dan hampir semua yang belajar hukum ketahui, bahwa dalam HIR itu tidak ditentukan batas waktu menyelesaikan satu perkara. Sehingga, tidak heran jika menyelesaikan satu kasus bisa berlarut-larut, bisa bertahun-tahun. Lebih parah lagi, ketiadaan waktu yang pasti ini menjadi salah satu peluang terjadinya praktik tidak terpuji di pengadilan, seperti korupsi. Kok bisa?
Begini. Saya berhutang kepada si A. Nilainya sangat besar. Sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian, saya belum mampu membayar. Saya ingkar janji. Untuk menagih uangnya, A mengajukan gugatan ke pengajilan. Untuk mengulur waktu penyelesaian perkara, saya bermain di belakang layer. Saya kasi uang ke petugas di pengadilan agar kasusnya diendapkan dulu, atau diberi nomor pendaftaran (register) yang besar. Kalian tau, penyelesaian kasus di pengadilan itu dilakukan berdasarkan nomor register. Semakin kecil nomornya, kasus itu akan lebih diutamakan penyelesaiannya. Itu hanya gambaran sederhana.