Tarik-ulur proses pemilihan Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komisi III DPR RI, menyisakan banyak pertanyaan dari berbagai pihak. Namun sebagai bakal calon garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi kedepan, saya mendukung penuh para anggota Komisi III untuk melakukan penyaringan secara ketat tanpa terpengaruh desakan pemerintah untuk segera memilih 5 (lima) dari delapan kandidat.
Â
Â
Beberapa nama calon juga diketahui tidak memiliki pengalaman selama 15 tahun di bidang hukum, ekonomi, keuangan, dan perbankan sebagaimana disyaratkan di dalam ketentuan Pasal 29 angka 4 UU. 30/2002 tentang KPK. Selain itu, Panita Seleksi (Pansel) bentukan Presiden Jokowi juga tidak mengindahkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) yang mensyaratkan harus adanya unsur penyidik dan penuntut umum dalam komposisi pimpinan.
Â
Â
Pansel yang konon dipilih Presiden dari sebagian besar wanita-wanita berjiwa patriot itu nampaknya tidak menghormati keberadaan UU tersebut sebagai landasan dalam melakukan seleksi capim. Padahal, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa republik kita tercinta ini adalah negara hukum. Konsekuensinya, segala tindak-tanduk Pemerintah dan seluruh WNI harus tunduk dan paruh terhadap ketentuan perundang-undangan.
Â
Â
Pihak-pihak yang menyatakan tidak perlu ada unsur kejaksaan dalam pimpinan KPK, dapat mengindikasikan mereka "malas" membaca UU yang masih berlaku atau mereka hendak bertindak sebagai Hakim MK yang memiliki kewenangan untuk mencabut suatu pasal, ayat maupun frasa dalam suatu ketentuan UU.
Â
Â
Dalam perspektif integritas, ternyata calon hasil pilihan pansel yang berasal dari unsur hakim, membuat saya geleng-geleng kepala sambil mengelus dada secara perlahan. Betapa tidak, nama calon itu di telinga saya sangat tidak asing. Ketika pertama kali melihat namanya saya langsung teringat bahwa yang bersangkutan merupakan seorang hakim kontroversial dan integritasnya patut dikhawatirkan.
Â
Â
Dia adalah Alexander Marwata, Hakim Pengadilan Tipikor yang masih teringat jelas dalam ingatan saya ketika yang bersangkutan disorot tajam ketika menyatakan tidak bersalah kepada mantan pegawai Ditjen Pajak, Dhana Widyatmika. Ia memberikan discenting opinion (pendapat berbeda) dari 4 Hakim lain yang sepakat menjatuhkan putusan 7 tahun penjara dan denda 300 juta sebesar.
Â
Â
Menurut Majelis Hakim (kecuali Alex), Dhana terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima pemberian uang sebagai pegawai Ditjen Pajak, melakukam pemerasan, dan melakukan pencucian uang. Salah satunya menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp. 2.75 M dalam kepengurusan utang pajak PT. Mutiara Virgo. Atas bantuan Dhana, perusahaan tersebut hanya membayar 30 M dari total senilai 128 M.
Â
Â
Hal tersebut yang membuat saya ragu terhadap kinerja para  pansel capim, yang jelas luput dalam melacak track record calon sehingga kemungkinan besar hal ini dapat berdampak kepada integritas calon pimpinan lembaga anti-rasuah negeri ini.Â
Â
Â
Entah faktor kelalaian, atau kekhilafan Hakim Alexander Marwata pada saat turut mengadili kasus garong pajak itu, saya secara pribadi meragukan spirit anti-korupsi di dalam Hakim yang kini sudah sampai tahapan final di DPR.Â
Â
Â
Semoga para anggota komisi III betul-betul teliti sebelum memilih nama-nama yang diserahkan pansel. Karena, mereka inilah yang nantinya akan memimpin para penyidik dan penuntut umum di KPK. Layaknya kendali sebuah kapal laut, kerja keras para Anak Buah Kapal (ABK) tidak akan berarti jika sang nakhoda salah mengarahkan arah. Akibatnya, kapal tidak akan pernah sampai tujuan atau bahkan karam di tengah lautan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H