Semua itu, terkait erat dengan sejarah kota yang berdiri pada tanggal 1 Desember 1888 ini. Potensi batu bara yang dikembangkan oleh Belanda saat itu, mendorong perekrutan tenaga kerja secara besar-besar.
Hal ini mengakibatkan tenaga kerja yang didatangkan bukan hanya dari daerah sekitar saja, melainkan menembus provinsi bahkan sampai ke pulau seberang. Maka, tak heran bahwa Kota Sawahlunto saat ini multietnis.Â
Ada masyarakat Suku Minangkabau yang menjadi mayoritas, Suku Batak, Tionghoa, Suku Bugis, dan Suku Jawa yang mendominasi keberagaman suku bangsa di kota ini. Ada agama Islam, Kristen Katholik, dan Kristen Protestan juga lho! Ini terbukti dengan berdirinya tempat ibadah masing-masing kepercayaan itu.
Olahraga di Lapangan Ombilin ini, ku lakukan sekitar satu sampai dua jam. Aku dibimbing oleh pelatihku, tapi aku menyebutnya dengan sebutan Abang (sebutan untuk kakak laki-laki) karena jarak usia kami yang tidak terlalu jauh dan kami sudah begitu dekat hingga rasanya bersaudara. Bersama Bang Panji Asep Sasmito inilah, aku berlatih sudah sekitar 3 bulan ini. Program latihan yang asik dan menyenangkan hingga tidak terasa sudah hampir selesai saja.
Setelah pendinginan dan peregangan, aku pun mengajak Bang Panji untuk berkeliling dulu di sekitar Kota Sawahlunto ini.
Salah satu yang aku kunjungi yakni Masjid Agung Nurul Islam. Masyarakat sekitar lebih akrab dengan sebutan Masjid Agung ini, sudah menjadi cagar budaya Kota Sawahlunto.
Pada masa penjajahan Belanda dahulu, komplek Masjid Agung ini sebagai tempat kelistrikan dari industri batu bata Kota Sawahlunto. Kalau dalam Bahasa Belandanya, Electrische Centerale.Â
Kawasan Masjid Agung Nurul Islam Sawahlunto merupakan PLTU pertama di Kota Sawahlunto dibangun dalam rentang tahun 1894-1898. Pada masa Revolusi Kemerdekaan RI menjadi pusat perakitan senjata oleh pejuang Sawahlunto. Saat ini beralih fungsi sebagai Masjid dengan Panti Asuhan yang berada tepat di sebelahnya.
Salah satu yang unik dari Masjid yang satu ini, yaitu terletak pada menara masjidnya. Menara masjid adalah salah satu bangunan penunjang yang puncaknya terdapat corong pengeras suara.
Menara Masjid Agung ini, dahulunya adalah cerobong asap, lho! Cerobong ini, terhubung dengan jalur bawah tanah yang berujung tepat di Dapoer Oemoem Ransoem yang saat ini dikenal dengan Museum Gudang Ransum. Konstruksi bawah tanah ini adalah yang paling mutakhir pada zamannya. Tak heran, Belanda sangat betah untuk bermukim di Kota Sawahlunto ini.