Oleh : Al Farizil Dimas Saputra (Mahasiswa Double Degree Ilmu Hukum dan Informatika)
"Lex Semper Dabit Loquitur"
"Hukum Akan Selalu Memberi Obat"
Indonesia merupakan negara hukum sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tak dapat dipungkiri bahwa semua hal di negara ini telah diatur oleh peraturan perundang-undangan tak terkecuali dalam ruang digital dan bidang informatika. Indonesia telah mengalami transformasi besar-besaran yang membawa negara ini pada kemajuan dan peradaban teknologi. Hal tersebut merupakan kontribusi ilmu informatika yang terus membawa perubahan signifikan pada perkembangan negara. Dibalik kemajuan ini juga memunculkan tantangan baru dalam bentuk yang baru juga. Jika dahulu kejahatan lebih banyak pada kasus pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, perampokan dan lain sebagainya, maka saat ini kejahatan mulai dipenuhi dalam bentuk asynchronous atau tidak secara langsung seperti, kejahatan siber, pencurian data pribadi, dan yang mengancam keamanan dan ketertiban ruang digital. Hal tersebut membuat penegakan hukum harus memperbarui peraturan perundang-undangan yang selaras dengan perkembangan zaman. Artikel ini akan membahas penerapan hukum pidana dan kapan digunakan dengan fokus pada bidang informatika dan ruang digital.
Cyber law adalah istilah hukum yang berkaitan dengan penggunaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) dan Ilmu Informatika. Istilah tersebut hadir sebagai pengembangan regulasi khusus dalam menghadapi ancaman kejahatan siber. Kejahatan siber mencakup berbagai tindakan ilegal yang dilakukan melalui sistem digital dan jaringan komputer. Menurut Prasetyo (2024), mengakses tanpa izin, penyebaran konten ilegal, penipuan online, dan perusakan data merupakan cakupan dari kejahatan siber.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan regulasi utama negara Indonesia yang mengatur mengenai segala aktivitas dalam ruang digital. Peraturan perundang-undangan tersebut telah mengalami dua kali perubahan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Hal yang diatur oleh UU ITE meliputi transaksi elektronik, tanda tangan digital, hak cipta, hak merek, dan hal-hal dunia maya yang melanggar tindak pidana. Namun, terdapat beberapa pasal dalam UU ITE seperti pasal 32 ayat (1) yang mengatur tentang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
Penerapan pidana dalam kasus yang tergolong dalam UU ITE pertama kali memakan korban pada tanggal 15 Agustus 2008 terdakwa Prita Mulyasari dengan putusan No. 225 PK/PID.SUS/2011 yang akhirnya ia resmi dinyatakan bebas dari jerat pidana UU ITE setelah melalui kasasi dan peninjauan kembali (PK). Ia mulanya dinyatakan bersalah karena menyebarkan pencemaran nama baik RS Omnia, melalui media digital. Hal tersebut merupakan awal dari pengembangan UU ITE yang terus di tinjau dan menyesuaikan diri dengan dinamika perkembangan teknologi.
Namun, meskipun regulasi telah disusun, penegakan hukum di ruang digital seringkali mengalami kendala salah satunya perkembangan teknologi yang berkembang pesat membuat regulasi menjadi usang dalam jangka waktu singkat. Pengaturan hukum pidana formil mengenai penggangguan sistem  elektronik dapat ditemui pada beberapa peraturan salah satunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Namun penerapan dalam praktik hukum seringkali mengalami kendala, termasuk kurangnya keterampilan teknis di kalangan  aparat penegak hukum (Pribadi, 2018)).
Hukum pidana di ruang digital diterapkan ketika terjadi pelanggaran yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hukum pidana berfungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melindungi kepentingan masyarakat, negara, dan individual di ruang digital (Sunggono, 2022). Beberapa jenis pelanggaran yang sering menjadi objek penerapan hukum pidana di bidang informatika antara lain:
1. Akses Ilegal: Mengakses sistem elektronik tanpa izin termasuk dalam kategori yang memenuhi syarat dalam hukum pidana yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Misalnya, kasus peretasan yang dapat mengakses serta mengubah, mencuri, menghilangkan, merusak, dan merubah data sensitif dari perusahaan atau pribadi.
2. Manipulasi Data Elektronik: Data elektronik yang diubah, dihapus, atau dipalsukan secara ilegal telah diatur dalam Pasal 32 UU ITE. hal tersebut dikarenakan dapat merusak integritas data elektronik yang menjadi fundamental aktivitas di ruang digital.