Sekedar tanya saja tak terucap
Sering ditanya risau pula
Sebalik bilik hening
kelambu penutup pekik malam
seringkali hadir di pesta perjamuan
Jemarimu mengandung tinta
dan derai air matamu dapat menciptakan sebait syair indah
Merakit ketepian sungai
Sejinjing pagi hanyut ke-muara
Embun mempersembahkan sebuah hajatan khas
Nisan memeluk epitaf di sebalikku
terpenjara oleh eloknya tatapanmu
Karena matahari telah menjadi bunga
ditaruh-nyalah syak di atas masa
Aku tak yakin akan sampai di dekatmu
Hal-hal terguncang terus saja terjadi
Pertanyaanku sering tak terucap
Percakapan kita sering lumpuh
Semoga tak sekedar kagum
                             Semoga tak sekedar singgah
                                                          Semoga tak sekedar gelak
Semoga selamanya
Apalagi yang akan disampaikan
Kesia-siaan terus saja berulang
Musafir asing pengepul tulang-belulang
berkelana dalam jubah gelap di tepian diam
menunggu jalan terbaik sekaligus mustahil dan tak baik
Sebelum semesta terlukis
Ada perencanaan penghapusan
Ada perencanaan pengoyakan
Lain halnya kepergian
dibasahi terus-menerus ia tetap saja menatap keris yang akan menggores pangkal leher
Di jalan yang lengang
katak memanggil hujan
burung menarik jerami
Awan berhasil tergoda untuk memendungkan hari
Kepala tunduk terhadap aspal
mengenang hal yang tak sepatutnya dikenang
Jalan terus-menerus
hingga menjumpai jurang
lalu terjun bebas
Jurang beserta bulan dipenuhi hujan
Api dihembus tangis
dengan pukulan keras
mengaburkan pandangan
dan seketika menghitam
Selamat tinggal untuk sementara
Keruh air yang mulai luntur
pada malam penuh tangis
Keadaan berserah untuk mengenang hal kelam
berakhir remuk akibat ditindih tanya
Duhai kamu yang terus saja menziarahi seluk-beluk tubuhku
kesakitan itu hanyalah bekas tapak kaki peziarah
Bunga dan siraman akan menghilang
Segeralah kamu jawab pertanyaan yang pernah ku-ucap
supaya aku dengan lapang pergi ke semesta-nya
Tanaklah segantang nasi
untuk dibawa ke pelayaran berikutnya
Jejak tapak-ku dihilangkan angin
Jejak tapak-mu abadi bagiku
Palang yang memisahkan kita
kelak akan dihancurkan badai
Betul, badai itu aku
Bersenandung angin menembus tanah makam
Teriakan seorang anak kesal akan kawannya
Di sore menjelang malam
Rindu mengapung di tepi karang
Lampu dikerumuni laron
Hangat meniup pelita
cahayanya mengoyak tilam
Nafasmu sebuah pedoman perjalanan
Lolong pemusik di dalam kelam
melempar batu ke tubuhku
Iblis muncul setibanya aku di alam gelap
Pelontar api habis terbakar
Dan akhir
kembali berdiri
melempar keringat ke-udara
Sisa-sisa gelisah ku ludahi
Aku sehelai
Kamu setangkai
Tongkat kayu di tangan kiri-ku mulai lapuk
dan akhir
meninggalkan sisa.
Alfarizi Andrianaldi, 16 februari 2022
Â