Mohon tunggu...
Achmad faizal
Achmad faizal Mohon Tunggu... -

Sosiologi Universitas Hasanuddin. Dapat berkorespondensi melalui achmadfaizalxxx@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berfilsafat di Zaman yang Kacau (Refleksi Hari Filsafat Sedunia)

21 November 2018   10:53 Diperbarui: 21 November 2018   21:07 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar : www.en.unesco.org

Ungkapan seperti "kenalilah dirimu sendiri" (Gnothi Se Authon) yang dilontarkan oleh Socrates adalah satu contoh pikiran cemerlang yang abadi hingga kini. Begitupun Thales yang dinobatkan oleh bangsa Yunani sebagai "seven wise man of greece" merupakan orang pertama yang mampu menjelaskan asal - usul alam semesta secara rasional, sehingga ia layak dijuluki sebagai "Bapak Filsafat".

Belum lagi dengan penemuan Plato tentang dunia "Idea" yang amat menakjubkan pada masanya. Saking hebatnya pemikiran Plato, filsuf Inggris Alfred Whitehead berpendapat bahwa perkembangan pemikiran manusia sepanjang sejarah dianggap hanyalah catatan kaki dari pemikiran Plato (Haidar Bagir, 2017).

Kemudian tradisi berfikir kritis dan bijaksana tersebut diwariskan oleh para filsuf Muslim diantaranya ; Al-Kindi, Al-farabi, Al-Ghazali, Ibnu Sina dlsb. Pikiran - pikiran yang tergali di masa mereka juga cukup dalam penuh makna. Bahkan sejarah mencatat mereka sebagai "penyelamat" warisan pengetahuan peradaban Yunani melalui jasa penerjemahan karya - karya Plato dan Aristoteles kedalam bahasa Persia dan Arab.

Barangkali satu petuah penuh hikmah yang pernah dilontarkan oleh Imam al-Razi yakni ; man arafah nafsahu, faqad arafah rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya) dapat menjadi warisan bagi mereka yang kini sering getol "membela" Tuhannya.

Berfilsafat Di Tengah Keseharian Kita yang "Sakit"

Disadari atau tidak, semakin modern kehidupan kita, semakin banyak pula penyakit sosial yang terciptakan. Jika dulu penyakit masyarakat modern hanya berkutat di persoalan ; narkoba, free sex, perjudian, atau tawuran, maka kini kita bisa menyaksikan tubuh masyarakat kita tengah digerogoti oleh penyakit sosial baru bernama konsumerisme, narsisme, individualisme hingga hedonisme.

Betapa banyak fenomena yang berseliweran di sekitar kita yang secara konseptual dapat digolongkan sebagai gejala sosiopatik (penyakit sosial). Namun celakanya kita hanya menganggapnya sebagai sesuatu yang sehat dan wajar. Barangkali juga ini akibat dari sikap dan perilaku kita yang selalu "membenarkan hal yang biasa dan bukan membiasakan hal yang benar".

Orang yang ingin tampil cantik itu wajar, tapi jika telah memakan biaya yang besar (biaya operasi, pemutih, peninggi) maka kemungkinan ia sakit. Orang yang ingin mengabadikan momen dengan foto/video dokumentasi itu wajar, tetapi jika setiap saat momen ingin diabadikan maka kemungkinan ia sakit. Orang yang menggunakan gawai untuk komunikasi jarak jauh itu wajar, tapi jika orang yang dekat terasa jauh karena sibuk bermain dengan gawainya maka kemungkinan kita yang sakit.

Orang yang berhijrah itu mulia, tetapi kalau hijrahnya minta diakui maka kemungkinan ia kehilangan arah. Mengenakan pakaian tertutup (syar'i) itu wajib, tetapi mengukur keshalehan orang dari pakaiannya, itu naif. Menyebar postingan ceramah di sosial media itu baik, tetapi mengkafirkan orang hanya modal postingan ceramah di lini masa, itu fanatik.

Sungguh, kita telah memasuki "zaman kacau" (mess age). Akar masalah utamanya adalah "banjir informasi" (information spill over) yang membuat orang - orang kini mengalami disorientasi (kebingungan) informasi. Maka akibat yang ditimbulkan adalah terciptanya yang oleh Nicholas Carr menyebutnya sebagai "orang - orang dangkal" (The Shallows), sebab terbiasa menyantap informasi instan tanpa kedalaman.

Sadarkah kita jika selama ini telah terjadi distorsi (pemutarbalikan) makna di lini masa media sosial kita ?. Apa yang palsu ditampilkan seolah nyata, sesuatu yang semu dan candu ditampilkan seolah tampak bermakna. Kita lebih suka memviralkan sesuatu yang tak bernilai ketimbang mempopulerkan sesuatu yang sarat akan hikmah. Fenomena seperti ini diistilahkan oleh Baudrillard sebagai simulakra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun