Oleh : Achmad Faizal
Dalam dunia akademik terutama dalam rumpun ilmu sosial - humaniora dan filsafat, maka tak berlebihan jika mengatakan bahwa Prancis adalah sarangnya para ilmuwan besar dunia. Berbagai tokoh besar (filsuf, sastrawan, sosiolog, antropolog, psikolog) lahir dari rahim institusi pendidikan Prancis. Lantas muncul pertanyaan sederhana, apa yang menyebabkan Prancis mampu melahirkan sederet ilmuwan akbar seperti Rene Descartes, August Comte, Levi Strauss, Althusser, Albert Camus, Jean Paul Sartre ?. Atau dengan kata lain, pra-kondisi seperti apa yang mesti diciptakan oleh lembaga pendidikan Prancis sehingga ia mampu menelurkan nama - nama sekaliber Lyotard, Montesquieu, Voltaire, Durkheim, Derrida, Badiou, Deleuze, Bordieu, Simone de Beauvoir dan Paul Ricouer ?.
Kita mungkin telah mafhum bahwasanya gagasan atau pikiran tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia bukanlah hasil creation ex nihiloyang seolah vakum dari sejarah, dari relasi - relasi sosial, dan sekonyong - konyong hadir dengan penuh gegap gempita. Mengutip Martin (2011), ia mengatakan bahwa gagasan/pikiran mesti dilihat sebagai ekspresi dari relasi antar berbagai prakondisi material : situasi sosial - politik - ekonomi, konfigurasi sejarah dan akhirnya juga institusi baik dalam arti formal (sekolah/universitas) maupun informal (caf, salondesartistes). Maka melalui kesempatan kali ini, saya hendak menyingkap berbagai pra-kondisi tersebut meskipun dapat dipastikan isi tulisan ini hanya ala kadarnya.
Sejarah (Singkat) Pendidikan Tinggi Prancis
Pertama - pertama kita mulai dari universitas Paris. Sebagai universitas pertama di Prancis, ia didirikan pada tahun 1200 oleh Raja Phillippe Auguste, kemudian legitimasinya ditopang oleh dekrit Paus Gregorius IX pada tahun 1231. Saat itu masih terdiri dari 4 fakultas, diantaranya ; Kedokteran, Teologi dan Hukum sebagai fakultas "superior" dan Kesenian sebagai fakultas "inferior". Â Lalu pada tahun 1257, penasihat Raja Louis IX - Robert de Sorbon, mendirikan fakultas khusus untuk para siswa teologi yang hidup miskin yakni "La Communaute des Pauvres Maitres Etudiants en Theologie". Fakultas inilah yang kemudian pada akhir abad 13 berubah menjadi "La Sobonne"atau Universitas Sorbonne (Schrift, 2006).
Pada abad awal berdirinya fakultas teologi tersebut, ia mampu memegang peranan politik yang cukup kuat. Afiliasinya terhadap Raja dan Paus yang begitu erat sampai - sampai membuat filsuf sekelas Rene Descartes mesti mappatabe'(minta izin) kepada dekan dan para doktor dari fakultas tersebut. Diketahui bahwasanya tatkala Descartes menerbitkan salah satu magnum opus-nya yaitu "Meditasi tentang Filsafat Pertama",ia mesti mempersembahkan kepada para petinggi fakultas yang dianggap suci tersebut.[1]
Universitas ini sempat ditutup pada tahun 1793 akibat revolusi Prancis yang tengah terjadi, lalu dibuka kembali oleh Napoleon pada tahun 1806 dan menyulapnya menjadi kampus sekuler (pemisahan institusi pendidikan dari gereja). Secara fakultatif, Sorbonne terbagi menjadi tiga belas kampus, mulai dari  Paris I di Quartier Latin hingga Paris XIII di Saint - Denis. Di antara ketiga belas kampus tersebut, Paris VIII merupakan kampus yang menjadi tempat nongkinya para filsuf berkelas, sebut saja Jean-Francois Lyotard, Alan Badiou, Gilles Deleuze, Jacques Ranciere dan lain -lain.[2]
Institusi pendidikan selanjutnya yang menjadi sorotan mata para intelektual Prancis bahkan Eropa adalah Ecole Normale Superieure(ENS). Institusi ini berdiri pada tahun 1794 di rue d'ulmoleh menteri pendidikan saat itu - Joseph Lakanal. Tujuan berdirinya adalah untuk menempa para pelajar sebagai pengajar/pendidik yang kompeten di bidangnya. Yang menjadikannya unik adalah ENS tidak menyediakan ijazah dan gelar akademik apapun bagi mahasiswanya. Namun jangan dikira karena tidak menyediakan gelar dan ijazah lantas ia sepi peminat, justru sebaliknya, ia merupakan sekolah elit dengan standar kelulusan tingkat tinggi. Selain ujian masuknya yang super sulit, ENS memang hanya menerima sedikit sekali pelajar ; pada tahun 1970 misalnya, ENS hanya menerima 50 mahasiswa, dan tahun 1999 hanya menerima 100 mahasiswa.[3]
Untuk terdaftar sebagai normaliens(sebutan bagi mahasiswa yang belajar di ENS), maka anda harus melalui paling tidak 6 jenis ujian tertulis (concours), diantaranya ; terjemahan latin, karangan dalam bahasa latin, terjemahan Yunani, esai tentang sastra Prancis, esai tentang filsafat dan esai tentang sejarah. Kesemuanya mesti selesai hanya dalam waktu delapan hari. Kalaupun lulus ujian tertulis ini, maka para pendaftar masih harus mengikuti ujian lisan.
Tapi sebelum terlalu jauh, saya perlu ingatkan bahwa anda tidak perlu berangan - angan untuk bisa menjadi normaliens sebab filsuf sekelas Paul Ricouer, Foucault saja gagal di ujian pertamanya. Jacques Derrida yang mahsyur dengan teori dekonstruksinya juga gagal, bahkan ia harus mengulang kelas persiapannya (khagne) untuk mengikut ujian masuk di ENS. Begitupun dengan Lyotard gagal dua kali, putus asa dan akhirnya berlabuh ke Sorbonne.
Institusi terakhir yang patut disebut disini adalah College de Franceyang berdiri sejak tahun 1530. Kampus ini jauh lebih unik sebab selain tidak menyediakan gelar dan ijazah, ia juga bebas biaya dan bebas ujian. Seluruh masyarakat Prancis boleh datang semaunya dan mengikuti kuliah -- kuliah yang sedang berlangsung di College.Tetapi tidak perlu khawatir dengan pengajarnya, sebab seluruh kuliah telah dijamin kualitasnya dan akan diampuh oleh para intelektual terpandang dan mumpuni dibidangnya.[4]