Bulan suci ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewah dan eksklusif bagi seluruh umat islam di seluruh dunia yang didalamnya terdapat ritual-ritual khas yang barang tentu tidak dimiliki oleh di luar bulan itu, sebut saja ibadah puasa, shalat tarawih, dan zakat fitrah. Adapun output dari berpuasa itu sendiri sebagaimana telah terjelaskan dalam kita suci Al-Quran surah Al-Baqarah : 183 yaitu la allakum tattaqun (agar menjadi orang-orang yang bertaqwa).
Keistimewaan beribadah di bulan suci ramadhan sebagaimana reward yang telah dijanjikan oleh Allah SWT adalah gerbang pengampunan atas segala dosa dan kesalahan masa lalu terbuka lebar, pahala dilipatgandakan hingga tiada batasnya, pintu –pintu syurga di buka dan pintu neraka ditutup serta setan-setan dibelenggu, hingga meraih puncak kenikmatan dari segala bentuk kenikmatan yaitu berjumpa dan menatap wajah Allah SWT di akhirat kelak.
Bulan ramadhan menjadi ajang pelatihan bagi kaum muslimin untuk meng-upgrade dan meningkatkan kualitas individu muslim mulai dari ranah ruhiyah, jasmaniyah maupun insaniyah. Ketiga aspek tersebut kemudian diejawantahkan melalui proses pengendalian nafsu syahwat (birahi) , pereduksian sifat-sifat buruk manusia (bohong, dengki, marah, fitnah, ghibah) hingga pengontrolan atas keliaran hasrat konsumsi. Sehingga tatkala bulan ramadhan tiba penghujung masanya lalu pergi maka bersiaplah menyambut lahirnya “bayi-bayi” suci yang telah mendapatkan predikat taqwa.
Bulan Ramadhan dan Implikasi Sosial-Ekonomi
Sejenak bergeser dari permbincangan nilai-nilai transenden ketaqwaan yang melulu terfokus pada ranah peningkatan kualitas diri pribadi. Pertanyaan yang kemudian muncul yakni adakah nilai-nilai riil (fakta) baik pada aspek sosial, politik , budaya ataupun ekonomi yang mampu diturunkan dari predikat ketaqwaan tersebut ?. Mari berfikir lebih jauh serta melepas sejenak segala bentuk “iming-iming” surga dan pahala sebagai reward-Nya yang sifatnya sangat transenden antara hamba dan allah swt.
Sejatinya, sebagian besar ibadah yang kita tunaikan sepanjang bulan suci ramadhan ini memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang luar biasa. Dibaliknya tersimpan potensi penggerak yang mampu menyentuh akar ketimpangan sosial, menggugah rasa kepekaan sosial kita dan memantik kembali berbagai bentuk nilai-nilai humanitas lainnya.
Pertama, ibadah puasa yang kita laksanakan pada hakikatnya bukan hanya sekedar formalitas saja menahan lapar dan dahaga, tetapi lebih jauh dari itu. Di balik ibadah puasa terdapat pesan kemanusiaan yang ingin disampaikan kepada individu- individu muslim, bahwasanya ia ingin mengajarkan kita ber- verstehen (meminjam istilah bung Max Weber) terhadap kondisi orang-orang miskin, kaum marjinal, dan orang-orang sub-ordinat.
Bahwa di luar dari zona nyaman kita terdapat segolongan manusia yang hampir tiap hari bergelut dengan teriakan lambung-lambung mereka menahan lapar dan dahaga hingga harus banting tulang mengais rezeki demi menyumpal mulut mulut mereka dengan seonggok nasi. Dengan berpuasa, kita diharapkan mampu menempatkan diri ini dan seolah olah hidup (verstehen) pada posisi mereka dan itulah nilai kemanusiaan yang paling utama dari berpuasa.
Kedua, ibadah khas lainnya di bulan suci ramadhan yang membawa misi kemanusiaan adalah zakat fitrah. Mayoritas umat islam tentunya telah mengetahui apa fungsi dari zakat fitrah yakni secara transenden sebagai sarana mensucikan dan memberikan keberkahan pada harta. Namun lebih jauh dari itu, apakah mayoritas umat islam sadar atau minimal tiba pada titik mengetahui bahwa zakat fitrah pun memiliki pesan kemanusiaan.
Jika ditilik lebih dalam, ia mampu menjadi senjata ampuh dan konkrit dalam mereduksi ketimpangan sosial, kemiskinan maupun ketidakadilan sosial. Betapa tidak, menurut data BAZNAS (2015) potensi jumlah yang mampu dihasilkan dari akumulasi setoran zakat fitrah di Indonesia mencapai 200 triliyun lebih per tahun. Ini adalah upaya konkrit tatkala islam berbicara masalah kesejahteraan sosial, kemiskinan, ataupun ketimpangan sosial masyarakat Indonesia.
Itulah beberapa derivasi nilai-nilai humanitas dari predikat “taqwa” yang jarang dijamah oleh para da’i kita dan hanya melulu berkoar tentang makna ketaqwaan secara normatif. Sekiranya seluruh umat islam Indonesia tahu dan paham bahwasanya ibadah-ibadah mahdhahyang ditunaikan pun menyimpan implikasi gerakan sosial terkhusus di bulan suci ramadhan ini.
Bulan ramadhan dan budaya konsumerisme
Terdapat satu realitas lagi yang sering luput dari kasat mata umat islam tatkala menyemarakkan bulan yang penuh berkah ini yakni budaya konsumerisme. Sejenak istilah ini terdengar sepele dan dianggap angin lalu saja bagi sebagian besar masyarakat modern hari ini wabil khusus bagi mereka yang sedang mengisi kelas kaya dan seolah-olah kaya (kalangan menengah).
Secara apriori saya katakan bahwa ada hal kontradiktif dari hikmah ibadah puasa itu sendiri. Di satu sisi, puasa mengajarkan umat islam untuk mengontrol keliaran hawa nafsunya berupa makan dan minum. Namun di sisi lain tatkala adzan berkumandang, sifat sifat asli manusia berupa ketamakan seolah bangkit lagi. Betapa banyak dari kita yang menjadikan momen berbuka puasa sebagai ajang “balas dendam” terhadap kekosongan lambung selama sehari.
Layaknya ketika anda menonton fifty shades of grey(khusyuk, terpana, fokus), hasrat konsumsi ini seolah dibuat demikian. Pandangan digoda oleh keseksian es pisang hijau (pallu butung) dibaluri sirup marijan/DHT, Segarnya es buah (es cendolo’) , belum lagi manisnyasemangkuk kolak serta ditambah gurihnya berbagai menu gorengan.
Bagi muslim “taat”, kesemuanya itu belum mencapai titik kesempurnaan jika tidak ditutup dengan menunaikan sholat magrib tetapi bagi muslim kebanyakan, kesemuanya itu tidak perfect jika belum menghidupkan ujung sebatang rokok (kaluru’ surya).
Belum lagi tatkala tradisi buka puasa bersama (bukber) yang hampir mengisi seluruh hari -hari ramadhan kita. Dengan “menjual” nama silatuhrahim dan kebersamaan, maka momen buka puasa adalah waktu yang tepat untuk berkumpul kembali dengan mantan, teman (rasa pacar), maupun kolega-kolega yang telah lama tak bersua.
Sadar atau tidak, momen buka puasa bersama (bukber) adalah realitas konsumerisme umat islam modern hari ini. Dapat disaksikan gejala konsumerisme itu hadir mulai dari pemilihan tempat berbuka puasa , jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi hingga kuantitas menu berbuka. Sudah barang tentu, opsi tempat berbuka puasa, jenis makanan hingga kuantitas menu berbuka puasa menjadi perbincangan utama tatkala bukber ingin dilaksanakan. Apabila ketiga komponen bukber tersebut telah memenuhi unsur “layak” selfie dan dapat diunggah di media sosial maka itulah yang menjadi sasaran para kaum pop hari ini.
Jika boleh jujur, gejala gejala konsumerisme pada nyatanya dapat diidentifikasi kehadirannya tatkala awal-awal ramadhan hadir. Coba perhatikan secara seksama , hanya ada dua tempat yang paling sering dimakmurkan selama bulan ramadhan berlansung yakni masjid dan Mall atau toko pakaian. Kedua tempat tersebut sepertinya memiliki magnet tersendiri dan sekaligus memiliki relasi antara keduanya.
Jika saja masjid adalah tempat “pelarian” bagi mereka yang ingin bermunajat kepada Rabb nya, maka Mall atau toko pakaian adalah tempat “pelarian” bagi mereka yang ingin memenuhi tubuhnya dengan simbol-simbol agama (peci, mukenah, sajadah, baju koko, jilbab). Nampaknya , bagi sebagian besar umat islam modern terjebak pada identitas “ketaqwaan” berupa penggunaan simbol-simbol agama yang melekat pada tubuh ketimbang turunan lain dari ketaqwaan berupa akhlaqulkarimah.
Kini tak terasa bulan suci ramadhan akan pergi meninggalkan kita dan hari kemenangan itu akan tiba di depan mata. Namun satu hal yang diasumsikan wajib hadir tatkala momen lebaran telah dekat adalah simbolisasi agama yang serba baru , mulai dari pakaian hingga pernak pernik rumah yang mana kebiasaan umat islam modern ini telah mendarah daging (internalized). Jika saja awal bulan ramadhan Mall-Mall maupun toko pakaian telah dipadati maka dapat dipastikan di penghujung masa bulan suci ramadhan akan berpotensi terjadi ketidakseimbangan massa diantara 2 kubu yakni kubu masjid dan kubu mall.
Mari berprasangka baik bahwasanya jika masjid mampu menelurkan masyarakat yang shaleh selama bulan suci ramadhan, maka Mall pun juga mampu mencetak masyarakat konsumerisme selama bulan suci ramadhan. Dan sebagai hasil akhir dari akumulasi keduanya sepanjang bulan suci ramadhan adalah lahirnya masyarakat konsumerisme yang shaleh.
Oleh
Achmad faizal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H