Bulan ramadhan dan budaya konsumerisme
Terdapat satu realitas lagi yang sering luput dari kasat mata umat islam tatkala menyemarakkan bulan yang penuh berkah ini yakni budaya konsumerisme. Sejenak istilah ini terdengar sepele dan dianggap angin lalu saja bagi sebagian besar masyarakat modern hari ini wabil khusus bagi mereka yang sedang mengisi kelas kaya dan seolah-olah kaya (kalangan menengah).
Secara apriori saya katakan bahwa ada hal kontradiktif dari hikmah ibadah puasa itu sendiri. Di satu sisi, puasa mengajarkan umat islam untuk mengontrol keliaran hawa nafsunya berupa makan dan minum. Namun di sisi lain tatkala adzan berkumandang, sifat sifat asli manusia berupa ketamakan seolah bangkit lagi. Betapa banyak dari kita yang menjadikan momen berbuka puasa sebagai ajang “balas dendam” terhadap kekosongan lambung selama sehari.
Layaknya ketika anda menonton fifty shades of grey(khusyuk, terpana, fokus), hasrat konsumsi ini seolah dibuat demikian. Pandangan digoda oleh keseksian es pisang hijau (pallu butung) dibaluri sirup marijan/DHT, Segarnya es buah (es cendolo’) , belum lagi manisnyasemangkuk kolak serta ditambah gurihnya berbagai menu gorengan.
Bagi muslim “taat”, kesemuanya itu belum mencapai titik kesempurnaan jika tidak ditutup dengan menunaikan sholat magrib tetapi bagi muslim kebanyakan, kesemuanya itu tidak perfect jika belum menghidupkan ujung sebatang rokok (kaluru’ surya).
Belum lagi tatkala tradisi buka puasa bersama (bukber) yang hampir mengisi seluruh hari -hari ramadhan kita. Dengan “menjual” nama silatuhrahim dan kebersamaan, maka momen buka puasa adalah waktu yang tepat untuk berkumpul kembali dengan mantan, teman (rasa pacar), maupun kolega-kolega yang telah lama tak bersua.
Sadar atau tidak, momen buka puasa bersama (bukber) adalah realitas konsumerisme umat islam modern hari ini. Dapat disaksikan gejala konsumerisme itu hadir mulai dari pemilihan tempat berbuka puasa , jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi hingga kuantitas menu berbuka. Sudah barang tentu, opsi tempat berbuka puasa, jenis makanan hingga kuantitas menu berbuka puasa menjadi perbincangan utama tatkala bukber ingin dilaksanakan. Apabila ketiga komponen bukber tersebut telah memenuhi unsur “layak” selfie dan dapat diunggah di media sosial maka itulah yang menjadi sasaran para kaum pop hari ini.
Jika boleh jujur, gejala gejala konsumerisme pada nyatanya dapat diidentifikasi kehadirannya tatkala awal-awal ramadhan hadir. Coba perhatikan secara seksama , hanya ada dua tempat yang paling sering dimakmurkan selama bulan ramadhan berlansung yakni masjid dan Mall atau toko pakaian. Kedua tempat tersebut sepertinya memiliki magnet tersendiri dan sekaligus memiliki relasi antara keduanya.
Jika saja masjid adalah tempat “pelarian” bagi mereka yang ingin bermunajat kepada Rabb nya, maka Mall atau toko pakaian adalah tempat “pelarian” bagi mereka yang ingin memenuhi tubuhnya dengan simbol-simbol agama (peci, mukenah, sajadah, baju koko, jilbab). Nampaknya , bagi sebagian besar umat islam modern terjebak pada identitas “ketaqwaan” berupa penggunaan simbol-simbol agama yang melekat pada tubuh ketimbang turunan lain dari ketaqwaan berupa akhlaqulkarimah.
Kini tak terasa bulan suci ramadhan akan pergi meninggalkan kita dan hari kemenangan itu akan tiba di depan mata. Namun satu hal yang diasumsikan wajib hadir tatkala momen lebaran telah dekat adalah simbolisasi agama yang serba baru , mulai dari pakaian hingga pernak pernik rumah yang mana kebiasaan umat islam modern ini telah mendarah daging (internalized). Jika saja awal bulan ramadhan Mall-Mall maupun toko pakaian telah dipadati maka dapat dipastikan di penghujung masa bulan suci ramadhan akan berpotensi terjadi ketidakseimbangan massa diantara 2 kubu yakni kubu masjid dan kubu mall.
Mari berprasangka baik bahwasanya jika masjid mampu menelurkan masyarakat yang shaleh selama bulan suci ramadhan, maka Mall pun juga mampu mencetak masyarakat konsumerisme selama bulan suci ramadhan. Dan sebagai hasil akhir dari akumulasi keduanya sepanjang bulan suci ramadhan adalah lahirnya masyarakat konsumerisme yang shaleh.