“Begitu sabarnya Tuhan dengan keadaanku ini, dosa telah menjadi sahabatku. Lalu aku tenggelam dalam keadaan yang membuat diriku seperti baik-baik saja. Kata-katamu ‘Aku seperti tak berdosa’ mewakili semua itu.
“Lihatlah, begitu terperanjatnya burung-burung lalu mereka beterbangan. Binatang-binatang berlari ketika ranting-ranting patah aku injak, dan kau mendatangiku bergegas secepat mungkin. Lihatlah mereka itu, mereka tidak akan mengalami hal-hal yang buruk, setelah mereka menghindar dari sesuatu yang mereka anggap mengancam. Begitu juga dirimu yang bergegas itu, karena engkau ingin memastikan bahwa tak ada hal yang menghawatirkan yang terjadi. Tapi bukankan karena itu engkau selamat dari ke khwatiranmu itu.” ucap Jalal tersenyum
Nainawa terdiam. Matanya menatap mata lelaki yang berada di depannya. Matanya yang mencekung ke dalam membawa Nainawa dalam dunia lain. “Aku akan pergi, kau sudah mengerti dengan apa yang kau ingin ketahui.” Laki-laki itu kemudia pergi, lalu menoleh ke Nainawa seperti membisik sambil tersenyum ia berkata, “Apakah ada masa yang lebih panjang dari penangguhan serta penguluran Azab kita ini?"
Memang lelaki itu telah pergi. Burung-burung beterbangan mengepak-ngepakkan sayap, bernyanyi dengan bahasanya masing-masing mengiringi kepergian lelaki aneh itu. Fajar pagi telah tiba. "Lelaki itu memang telah pergi, tetapi apa yang ia sampaikan akan tetap tinggal selamanya dalam hidupku," bisik Nainawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H