Nainawa masih berpikir, udara masih dingin, dibungkusnya kepalanya dengan sarung. Ia bangun lebih awal, sebelum burung-burung mengepakkan sayapnya di atas langit, bertengger di atas dahan pepohonan mencari kehidupannya, sebelum embun berselancar meninggalkan dedaunan. Lalu Nainawa menurunkan sarung di atas kepalanya. Lutut ditahan dengan sarung yang ia gunakan.
Subuh yang lusuh. Nainawa berdiri ketika ingatannya telah pulih. Tangan memutar gagang pintu lalu ia membukanya. Angin memasuki rumah tua itu. Rambutnya yang lurus tersibak. Matanya terpejam karena terpaan angin. Perlahan ia duduk di beranda beralas bambu, sebelum shalat Subuh memasuki waktunya yang tepat.
Dedaunan terjatuh tanpa sebab, dari tempatnya. Sesekali mengendarai angin bergerak tak teratur, lalu meluncur terjatuh bebas. “Segala puji bagi Allah yang sabar kepadaku hingga seakan-akan aku tidak memiliki dosa,” bisik Nainawa. Dari mana aku memperoleh bahasa ini? Pikirnya.
Sebuah tatapan dari kejauhan memerhatikan Nainawa, tatapan yang kadang kala disertai senyum yang aneh. Ranting-ranting kering berderit, patah terinjak. Binatang-binatang yang masih beristirahat berlarian, burung-burung terjaga lalu terbang seketika dari peristirahatannya.
Nainawa bergesar, dengan cekatan menghampiri lelaki tua yang melintas di depan rumahnya. "Dari mana?" tanya Nainawa. Matanya memerhatikan lelaki tua itu. Lelaki berperawakan kurus, matanya tenggelam ke dalam, wajahnya pucat, seperti kelelahan. "Orang ini, baru aku lihat setelah sekian lama hidup di kampungnya, siapa orang ini?" pikir Nainawa.
“Kebetulan saja, aku lewat. Aku beristirahat di sana," ucap orang tua itu sambil tangannya menunjuk pohon beringin tua yang rimbun. “Ooo saya lupa memperkenalkan diri, saya Jalal,” sambil mengulurkan tangannya kepada Nainawa.
Ketika berjabat tangan, tangan Nainawa tercengkeram kuat. Nainawa berpikir, "Orang ini begitu kuat tapi tubuhnya begitu kurus, raut wajahnya pucat. Mungkin karena akibat ia beristirahat dalam dinginnya malam," gumam Nainawa.
"Mau ke mana Anda ini?" tanya Nainwa. “Di tempat-tempat yang aku lewati aku tak memiliki tujuan terhadap tempat-tempat itu. Aku hanya mencari siapa diriku, di setiap tempat yang aku lewati.” “Tapi bukankah tempat-tempat itu untuk memenuhi tujuan-tujuan Anda?” Nainawa balik bertanya.
“Benar, tetapi tempat itu hanyalah tempat kita mencari siapa diri kita ini. Semalam aku terus berpikir sampai tak sempat memelihara tubuhku yang semakin kurus ini. Aku dengan keadaanku seperti ini penuh dengan dosa tetapi kadang kala aku melupakan itu Aku seperti tak berdosa,” tutupnya.
Nainawa memasuki suatu hal yang baru. Aneh, bukankah ketika terbangun lalu duduk berpikir, "Segala puji bagi Allah yang sabar kepadaku hingga seakan-akan aku tidak memiliki dosa.”
“Ada apa nak sampai engkau terdiam begitu lama?" tanya Jalal mengagetkan Nainawa.