Setelah sekelebat bayang, tukang ojek itu kembali mendapat gangguan. Gangguannya adalah suara benda yang jatuh dari pucuk pohon. Suaranya seperti bunyi durian yang jatuh dari atas batang pohon yang cukup tinggi. Sontak, tukang ojek itu langsung menancap gas kendaraannya lebih kencang. Namun, ketakutannya meningkat ketika ia keluar dari kebun tangkil. Di depan jalan masuk melewati kebun pisang, pocong berkain kavan lusuh melompat dari balik pohon pisang.
Motor tukang ojek itu secara tiba-tiba mati dan berhenti mendadak. Dia pun terjatuh. Tapi, dia hanya memandang ke arah makhluk gaib bermata hitam, berwajah legam dan bertubuh tinggi sebagaimana pohon pisang yang telah berbuah.
Pocong itu terbang dan mengarahnya. Sedangkan, si tukang ojek hanya mampu memandang. Tubuhnya kaku. Tak bisa berbuat apa pun.
Pocong itu semakin terbang mendekatinya. Tepat di depannya dan hanya berjarak 10 centi meter, pocong melebarkan tangannya. Selain itu, makhluk gaib berciri khas itu membuka mulutnya. Sontak, tukang ojek tergeletak di atas rumput yang berembun.
Tiba-tiba saja, cerita dari peristiwa itu terngiang ketika aku menyalakan mesin kendaraan. Tapi, lelaki berusia 20 tahun, saat itu. Terbiasa pulang pukul 10 hingga 12 malam melalui jalanan yang sepi dan di sisinya tumbuh pohon-pohon pisang atau nangka. Tak sekali pun pernah aku melihat kegaiban. Karena itu, aku yakin untuk tetap pulang mengambil baju ganti guna memandikan jenazah kakek.
Kupacu motor yang warnanya telah sedikit memudar. Kakek mesti segera dimandikan malam ini juga. Sudah banyak pelayat yang datang dan mendoakannya. Tak elok jika terlalu lama dibiarkan tanpa disucikan.
Sampailah diriku di gerbang kebun yang katanya mengerikan. Jujur, baru malam itu aku melalui jalan katanya mengerikan jika bulan atau bintang menjelmakan kecantikan. Memang, jika mengunjungi rumah nenek dan kakek, aku dan ibu selalu datang pada siang atau sore. Suasana pada sore tidak sama sekali menyeramkan. Cerah hijau daun-daun adalah suasana para pejalan atau pengendara. Selain itu, senyum ramah para pengebun, kadang kita jumpai. Tapi, malam ini. Sungguh, aku tak berani melihat ke spion.
Daun-daun yang diam dan pohon-pohon menjulang serta tak satu pun ada penerangan kecuali cahaya bulan adalah pemandangan yang nyata di sepanjang jalur. Kebun-kebun tepi jalan itu adalah milik warga. Selain itu, tempat nenekku tinggal memang berada di pinggiran kota sehingga belum tersentuh pembangunan yang optimal. Hanya jalan saja yang diaspal. Sedangkan untuk lampu jalan pernah ada pemasangan. Tapi, hanya sekali dan tanpa perawatan. Terbukti, hanya ada tiang-tiang yang berkarat serta lampu yang boklamnya pecah memecah. Â Dan itu, menambah seram suasana malam melalui jalur ini.
Secara tak terduga, aku berhenti mendadak karena melihat sekelebat bayang yang lewat. Kakiku lemas lantaran jantungku berdegub kencang. Tapi, aku tidak memiliki keberanian untuk melihat-lihat sekitar. Apalagi spion.
Aku mencoba kembali melajukan kendaraan. Namun, dari arah belakang ada yang memanggil.
"Tunggu," suara panggilan itu terdengar serak seperti para sepuh.