"Mas, maaf. Saya mau ta'lim ke Natar, saya mau nyamperin temen dulu di 28, tapi saya gak punya ongkos ke sananya, Mas bisa bantu saya?" ucap bapak yang uban nya terlihat menyembul dari peci putih yang ia kenakan.
Lelaki beranak satu itu sejenak mencerna seperti mengingat-ingat sesuatu. Ya. Dia ingat bahwa istrinya tadi memesan cabai, bawang, sayuran hijau juga gas melon.
"Hem ... Baik, Bapak tunggu sebentar, ya," Ia beranjak mendekati motornya di pelataran masjid.
Gegas lelaki muda itu merogoh selembar uang merah dalam dompet di jok motornya. Entah apa yang saat itu ia pikirkan, kemudian dengan entengnya ia menggenggam kan selembar uang itu ke tangan Si Bapak berpeci putih.
" Pak, saya cuma punya ini. Silakan bapak pakai, ya, semoga bermanfaat," Begitu ucap lelaki itu sambil menggenggam kan selembar uang di tangan Si Bapak.
"Masya Allah, berapa ini, Mas? Saya gak bisa lihat,"
"Seratus ribu, Pak." jawabnya singkat.
"Masya Allah ... Banyak sekali, Mas. Ya Allah ... Semoga, Mas nya dilimpahkan rejeki oleh Allah, berkah hidupnya, bahagia dan sehat-sehat selalu. Dikaruniakan anak sholih sholihah. Masya allah.. Terimakasih, Mas. Terimakasih," Bapak yang sampai detik ini kami tak tahu siapa namanya itu berujar sambil menyeka rintik air di sudut matanya.
"Amin ... Amin, ya, Allah," jawab lelaki beranak satu itu dengan rasa haru. Ada embun menggantung di matanya, namun bahagia dapat bermanfaat untuk sesama itu lebih mendominasi hatinya.
Setiba ia di rumah, tanpa membawa sebiji pun pesanan Si Istri. Kemudian lelakiku itu mengurai cerita dengan mata yang masih berembun. Entah mengapa saat itu aku tidak mengeluh apalagi mengamuk. Tidak pula merasa tidak diprioritaskan. Justru ada rasa mendukung tindakan lelakiku itu. Walau nantinya kami akan makan mie instan pemberian besek dari tetangga.
Masih kuingat dia sampai menggenggam tanganku khawatir jika aku kecewa atau sedih saat itu.