"Jika Aku tidak bisa mendapatkan hatinya, maka tidak boleh ada seorang pun yang mendapatkannya."Â
Sosok berjubah itu mengangguk, paham. Kemudian menatap Sang Penyair sangat dalam.Â
"Namun, apakah itu salahnya?"Â
"Apakah tidak mencintai orang yang mencintai kita adalah dosa yang besar?"Â
"Begitukah menurutmu?"Â
Sang Penyair tertegun, hatinya bagai dihantam sebuah batu besar.Â
"Kau tidak akan bisa menjawab pertanyaan itu. Hal paling berbahaya di dunia ini bukanlah senjata tercanggih, bencana paling dahsyat bukanlah tsunami, gempa bumi, melainkan sebuah perasaan cinta yang berubah menjadi benci."Â
"Mencintai seseorang dengan kuat hanya akan melahirkan kebencian yang kekal, karena cinta tidak pernah adil. Tidak akan pernah."Â
Sosok berjubah biru itu menghirup bunga mawar yang Ia genggam, sesaat kemudian mawar itu mulai layu dan menghitam. Sosok berjubah itu menghampiri Sang Penyair yang mematung di depannya, kemudian menyerahkan sekuntum mawar yang sudah layu itu ke tangan Sang Penyair.Â
Situasi di luar semakin tak terkendali, air laut mulai menyurut jauh ke tengah, untuk sesaat kemudian naik kembali menjadi tsunami yang menghantam daratan. Hujan sudah bergemuruh sedari tadi, diiringi instrumen petir yang menyambar sana-sini. Bumi terguncang, meluluhlantakkan semua yang ada di atasnya. Kitab lawas sakral itu sudah bekerja, memenuhi permintaan Sang Penyair. Memberi sebuah hujan yang panjang, hujan yang akan dikenang di sisa hidup manusia sebagai sebuah kisah kelam. Bagaimana cinta bisa berubah dari kebahagiaan menjadi kebencian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H