Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana strategi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Indonesia sebagai produsen halal dunia. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data diperoleh dari kajian literatur seperti buku, jurnal dan sumber internet yang berhubungan dengan penulisan ini. Hasil dari penulisan artikel ini adalah ada empat strategi utama dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 yaitu penguatan halal value chain, penguatan keuangan syariah, penguatan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan penguatan ekonomi digital. Untuk memainkan peran besar bagi industri halal di pasar domestik dan global, Indonesia harus menjadi bagian dari global halal value chain yang akan mempelopori penerapan halal traceability dan halal assurance system yang terpercaya.
Pendahuluan
Indonesia menempati peringkat pertama sebagai konsumen produk pangan halal. Namun, Indonesia belum menjadi eksportir no 1 industri makanan halal dunia. Dapat kita lihat bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi produsen produk halal terbesar di dunia. Hal ini tercermin dari potensi pasar produk halal di dalam negeri yang diharapkan dapat memperkuat industri halal nasional, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dalam industri halal global namun sebagai produsen.
Perdagangan komoditas bersertifikasi halal di dunia bisnis bukan merupakan hal yang baru . “Halal” yang berawal dari persoalan agama telah bergeser menjadi persoalan pasar, sebab sertifikasi halal dijadikan salah satu persyaratan bagi produk yang akan beredar baik dalam skala negeri maupun skala internasional (Nikmatul Masruroh, 2020). Indonesia sendiri sebagai negara yang berkembang, pada tahun 2022 akan menjadi tuan rumah G 20, serta mencanangkan menjadi Pusat Produsen Halal Dunia tahun 2024, ternyata saat ini belum mampu merubah posisi Indonesia menjadi pemain utama dalam industri halal dunia.
Produk bersertifikasi halal di Indonesia menjadi komoditas perdagangan yang dicari oleh konsumen, karena menurut kesejarahannya kehadiran sertifikasi halal yang ditangani oleh LPPOM MUI berawal dari desakan konsumen yang resah dengan kehadiran produk yang tidak mampu menjamin kehalalan, keamanan dan kesehatannya. Sehingga, diperlukan sertifikasi halal. Namun, pada waktu itu sertifikasi halal masih menjadi gerakan yang sporadis, sehingga Indonesia meskipun memiliki konsumen muslim tertinggi di dunia namun belum mampu menjadi pemenang pasar dalam industri halal (Nikmatul Masruroh dan Ahmad Fadli, 2022).
Maka, sejak diundangkan UU No. 33 tahun 2014, harus ada perubahan kelembagaan untuk mengatur kehalalan suatu produk. Sehingga, beralihlah wewenang MUI kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana strategi pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Indonesia menjadi produsen halal dunia.
Tinjauan Literatur
Perdagangan Komoditas Bersertifikasi Halal
Komoditas bersertifikat halal menjadi istilah baru di dunia perdagangan. Meskipun selama ini label halal sudah banyak dimiliki oleh produk-produk yang beredar di dunia perdagangan. Namun sifatnya yang voluntary menjadikan pemilik usaha masih belum melakukan sertifikasi halal secara serius. Kehadiran UU No. 33 tahun 2014, telah menjadikan sertifikasi halal sebagai hal yang mandatory. Sehingga, seluruh komoditas yang diperdagangkan wajib memiliki sertifikasi halal. Komoditas tersebut tentu saja sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh BPJPH, misalnya komoditas makanan, pakaian, dan sebagainya (Nikmatul Masruroh, 2019).
Pola perdagangan di Indonesia yaitu menurut skalanya ada yang lokal, nasional dan internasional. Sertifikat halal bisa digunakan sebagai senjata untuk melakukan penetrasi pasar ke tingkat nasional maupun internasional. Sertifikat halal ini digunakan sebagai bukti bahwa produk yang diperjualbelikan aman, sehat, bermutu dan halal. Komoditas bersertifikasi halal merupakan komoditas yang sudah melalui proses produk halal (PPH).