langkah kaki tak pernah berhenti membawa pulang nama
dari hembus angin yang keras menghantam jiwa
ketika tinta tak bisa menutup luka
di tengah keramaian kota
air mata mengalir menyapa dari lorong-lorong kecil yang gundah
mereka bertanya. "Pujangga, mengapa kau menangis?"
aku menjawabnya. "Aku tidak apa-apa."
sepatah jalan aku menatap tak berdaya
mengusir setiap kata-kata dari pohon-pohon tua
yang menemaniku membangun kembali dunia
tanpa makna aku hanyalah kebohongan raga
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!