Mohon tunggu...
Alfan Alfian
Alfan Alfian Mohon Tunggu... -

M Alfan Alfian adalah Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, dan juga Direktur The Akbar Tandjung Institute, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pasar Malam (Sebuah Novel) - [1]

3 Juni 2013   12:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:36 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada satu pun dari anggota rombongan itu yang berani menyela. Bukan karena mereka setuju dengan yang dikatakan Gatot, tetapi, ketidakberanian itu lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka rata-rata punya pendidikan yang tidak tinggi. Beberapa lulus SD. Paling tinggi SMA. Dan Gatot, dipandang sebagai orang terpelajar. Setidaknya, pernah menjadi mahasiswa. Mereka mengira Gatot sudah sarjana, padahal ia tidak pernah lulus. Ketika Sulaiman, penanggung jawab pertunjukan tong setan, mencatat kata “memang” yang ke 211 kalinya, Gatot kehabisan kata-kata. Seluruh perbendaharaan kata yang ia simpan dalam benaknya, untuk mengelabui orang lain yang tidak tahu apa maksudnya, dan atau supaya ia kelihatan intelektual, sudah habis. Dan, kini giliran Pardal, pendiri dan pemilik Rombongan Pasar Malam SLALU GEMBIRA itu angkat bicara.

Pardal hanya bicara singkat.

“Kalau S-L-A-L-U diubah S-E-L-A-L-U, bagaimana dengan S-L-A-M-E-T?”

Sulaiman, penanggung jawab komidi putar nyeletuk, “Kalau diganti, Neil Armstrong tidak akan pernah ke bulan!”

Semua tertawa, kecuali Gatot yang cemberut. Suatu saat, ia baru paham apa yang lucu dengan celetukan Sulaiman itu. Ia tertawa terpingkal-pingkal setelah dikasih tahu bahwa di Jawa sudah lazim joke, bahwa yang menemani Neil Arsmtrong ke bulan bernama Slamet! Neil Arsmtrong mendarat di bulan dengan Slamet!

Slamet di Jawa, mirip Ismet di Istanbul. Dan Gatot  pernah membaca buku Clifford Geert tentang "Agama Jawa", tetapi betapapun demikian, ia tak begitu paham dengan ritual Slametan, kecuali pemahaman bahwa orang Jawa itu begitu ekspresif dari segi spiritual, Kejawen. Bentuk-bentuk upacara ritualnya macam-macam, tetapi intinya meminta perlindungan kepada-Nya. Tuhannya orang Jawa, pikir Gatot, pastilah Tuhannya orang lain juga, karena hanya satu Tuhan. Satu Tuhan disembah dengan aneka cara.

Bahkan di rombongan Pasar Malam SLALU GEMBIRA ini pun kerap dibikin acara Slametan oleh Pardal. Betapapun tatacara ritual Slametan itu penuh dengan nuansa simbolik, tetapi yang kebagian membaca doa tetap saja Pak Kiai. Pardal selalu panggil Pak Kiai dari Pesantren terdekat, atau setidaknya Pak Modin, semacam “menteri urusan keagamaan Islam” di desa terdekat, untuk membaca doa. Pardal tidak puas, kalau yang membaca doa tidak fasih dan meyakinkan. Pernah ia panggil juru doa yang bukan kiai atau modin, tetapi setelah tahu cara berdoanya aneh, dia yang bukan bahasa Arab, kecuali dibikin-bikin seperti kata-kata Arab, Pardal merasa shock. Karenanya, setelah si pembaca doa itu pulang, ia panggil Solikhin, yang biasa membaca doa di Pasar Malam itu, untuk membacakan doa lagi. Ia dan yang lain-lain, amin-amin lagi.

“Mugi-mugi kito sedoyo tansah pinaringan keslametan! Semoga kita semua senantiasa memperoleh keselamatan dari Allah Subhanahu wata’ala!” ujar Solikhin mengakhiri doanya.

“Amin!”

“Amin!”

“Amin!”*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun