Mohon tunggu...
Alfan Alfian
Alfan Alfian Mohon Tunggu... -

M Alfan Alfian adalah Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, dan juga Direktur The Akbar Tandjung Institute, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pasar Malam (Sebuah Novel) - [1]

3 Juni 2013   12:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:36 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tetapi, pergeseran pemikiran terjadi ketika Pardal mengasyiki pasar malam, malam itu. Di Kecamatan Delanggu, ada pasar malam dan bersama sang kenek ia diajak serta. Kenek itu punya dua orang anak. Usianya tidak berbeda jauh dengan Pardal, dan tentulah Pardal gembira sekali dapat hiburan malam itu, hiburan yang tidak pernah ia temukan di keluarganya. Pardal tidak akan melupakan kejadian malam itu: ia naik komidi putar. Antrinya panjang sekali, dan betapa gembiranya saat ia naik ke kuda kayu itu, berpegangan erat-erat dan kemudian si kuda bergerak naik turun, berlari, berputar! Ia banyak menikmati arena lain, tetapi, tetap saja yang paling berkesan ialah komidi putar itu – martabak dan es dawet. Setelah melihat pasar malam itulah, Pardal berpikir bahwa yang lebih hebat ketimbang sopir adalah pemilik pasar malam yang di dalamnya terdapat arena main ajaib: komidi putar.

Demikianlah Pardal. Ia selalu punya obsesi untuk meniru orang lain yang dipandang hebat, walaupun ia peniruannya itu terhenti sebatas angan-angan. Tetapi, angan-angan itu kuat sekali ke soal pasar malam tadi. Kelak, setelah bertahun-tahun di bis, ketika pangkatnya naik dari asisten kenek menjadi kenek, ia memutuskan berhenti. Ia merasa sudah punya uang yang cukup untuk membeli perangkat komidi putar. Ia ingin berubah profesi, penyelenggara komidi putar!

Akhirnya memang obsesinya kesampaian. Di lapangan desanya, pertama kali komidi putar itu dirakit dan dioperasikan. Ia telah mendapat izin dari kepala desa untuk memainkan komidi putarnya itu selama sebulan, dengan kompensasi membayar sejumlah tertentu untuk kas kelurahan. Tak disangka sambutannya baik, bahkan di luar perkiraan. Tidak hanya anak-anak dari desanya saja yang ketagihan, tetapi juga dari desa lain, bahkan kecamatan lain. Pardal pun meningkatkan jumlah pekerja, dari dua orang menjadi lima orang. Dan, kepala desa pun memberi izin perpanjangan operasional komidi putar dari sebulan menjadi tiga bulan. Selanjutnya, ia berkeliling ke desa-desa lain, yang ada lapangannya. Kemudian usahanya berkembang pesat, hingga obsesinya menjadi juragan pasar malam terpenuhi. Tak hanya komidi putar yang dimilikinya, tetapi juga wahana-wahana lainnya, termasuk tong setan.

BEBERAPA kali, rekan-rekannya usul supaya tulisan SLALU dibenarkan dengan menyelipkan huruf E setelah S. Tetapi, Pardal menolak.  Ia juga menolak simbol “jaran kepang” alias kuda lumping diganti yang lebih “rasional”. Alasannya, itu semua sudah terlanjur melekat. Barangkali ia terkesan dengan apa yang dilakukan Kang Jumingan yang hingga kini masih bertahan sebagai penjual es buah. Suatu hari, bertahun yang lalu, Kang Jumingan meminta pardal untuk membuat spanduk di depan warungnya. Kang Jumingan yakin, kalau Pardal itu ahli bikin tulisan. Dengan modal kain secukupnya dan cat secukupnya pula, Pardal menjalankan tugasnya membuat spanduk.

Spanduk itu bergambar mangkok dan sendok. Tak lupa mangkoknya itu berlimpah es dan buah, dengan gambar yang diharapkan orang langsung mengasosiasikan demikian. Kemudian di sebelah mangkok itu bertuliskan besar-besar, ES BUWAH JUMINGAN. Tidak menyadari ada kesalahan penulisan, Kang Jumingan sangat puas dengan hasil karya Pardal. Spanduk itu selama bertahun-tahun masih dipasang di depan warungnya, hingga suatu ketika ketika warung es Kang Jumingan maju dan membuka cabang di dua tempat, penggandaan spanduk dilakukan orang lain. Tetapi, tetap dengan tulisan lama, tetap ES BUWAH JUMINGAN! Tampaknya orang tak mempersoalkan kesalahan bahasa lain di warung Kang Jumingan, “Bisa di bawa pulang atau di makan disini” atau “di jamin puwas”. Tulisan-tulisan yang terakhir itu, yang menunjukkan tidak pahamnya “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai awalan, tidak lagi melibatkan Pardal. Tetapi, kelihatannya dari Kang Jumingan sendiri yang juga tak tamat SD.

Adapun substansi atau inti yang ingin disampaikan oleh Pardal ketika menamai rombongan pasar malamnya, adalah agar semua bahagia. Agar semua selalu senang. Sebuah tulisan jargon di gapura desalah yang membuatnya terpicu menemukan nama itu. Gapura desanya sederhana saja. Di sisi kanan, dindingnya bertuliskan PANCASILA. Di sisi kirinya berisi 10 PROGRAM POKOK PKK. Tetapi sambungan dari ke dua bangunan itu, yakni bagian atasnya, yang paling mencolok adalah WONG CILIK TANSAH GUMUYU.

Pardal pernah mendengarkan uraian di kelurahan soal makna tulisan itu dari Pak Camat. Pak Camat, ketika melakukan tinjauan ke desa itu, diberi kesempatan sesorah atau pidato di depan warga desa oleh Pak Lurah atau Kepala Desa. Pak Camat itu orangnya komunikatif, dalam menyampaikan sesorahnya, ia menayai  hadirin, tentang apa tujuan pembangunan. Hadirin diam, pasif. Tidak ada yang tunjuk jari. Pak Camat kemudian mendekat ke salah seorang warga, dan warga itu terpaksa menjawab. Jawabannya singkat saja, tetapi Pak Camat membetulkan.

Benar! Tujuan pembangunan adalah seperti yang tertulis dalam gapura itu. WONG CILIK TANSAH GUMUYU! Tujuan pembangunan adalah untuk membuat rakyat biasa, rakyat kecil bahagia. Wong Cilik! Rakyat kecil! Tansah gumuyu! Selalu tertawa! Tersenyum, bahagia! Kalau kebutuhan sandang, pangan dan papan tercukupi, maka apalagi yang dibutuhkan? Tentu bukan lagi kebutuhan yang bersifat fisik, yang berupa barang atau materi. Yang dibutuhkan adalah kebutuhan rohani. Karenanya tujuan pembangunan sering didefinissikan untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia yang seimbang pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaninya!

Jelaslah, dari kata TANSAH GUMUYU itulah kemudian keluar susunan kata dari Pardal SLALU GEMBIRA!

Suatu hari, ketika Gatot, lengkapnya Gatot Subroto Nasution, seorang pemuda tanggung, yang katanya mantan aktivis itu ngotot mendesak agar SLALU diubah SELALU. Perdebatan sengit, yang disaksikan hampir semua kru Rombongan pasar Malam SLALU GEMBIRA, terjadi. Gatot berdalih perubahan itu wajib atas nama modernisasi dan globalisasi. Uraiannya panjang lebar dan berputar-putar. Gatot banyak memakai kata “memang” dan saking banyaknya ia memakai kata “memang”, sempat beredar desas-desus bahwa ia akan dijuluki sebagai “Pak Memang”. Gatot merasa punya panggung dalam debat itu, dan sengaja ia bicara panjang sekali.

“Setelah kupikir-pikir, memang, pada akhirnya, SLALU, harus diubah menjadi SELALU, S-E-L ...,” Gatot terbatuk-batuk sejenak,  “A-L-U...”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun