Mohon tunggu...
Alfain Aknaf Rifaldo
Alfain Aknaf Rifaldo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia

Hanya mas mas biasa yang tidak kuat mengonsumsi kopi tanpa air Instagram : @aaknafr

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Sebuah Kemewahan bernama Nasi Goreng

18 Oktober 2022   18:36 Diperbarui: 18 Oktober 2022   18:38 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasi goreng adalah makanan yang secara penamaan paling jelas dan langsung bisa dipahami. Nasi goreng ya berarti nasi yang digoreng. Sangat simpel, bukan? Semua orang bahkan yang belum pernah melihat wujud nasi goreng sekalipun aku yakin bisa membayangkan akan seperti apa rupa nasi yang digoreng.

Sama seperti penamaannya, proses pembuatannya juga terbilang mudah. Bahkan di usia sekolah dasar, aku dan kawanku sudah pernah membuat nasi goreng versi kami sendiri, terlepas bagaimana rasanya. Cara pembuatan nasi goreng secara umum adalah dengan menggoreng nasi. Adapun berbagai variasi bumbu bisa ditambahkan sesuai selera lidah masing-masing, biasanya menyesuaikan dengan asal daerah tertentu.

Nasi goreng sendiri merupakan salah satu makanan yang punya tempat spesial di hatiku. Tentu ada cerita sendiri kenapa nasi goreng bisa terasa spesial dalam hidupku, apapun itu variannya, dari manapun asalnya. Nasi goreng mulai dari warung kaki lima sampai kelas restoran bagiku sama-sama merupakan sebuah kemewahan.

Aku mulai menyadari bahwa bisa makan nasi goreng adalah sebuah kemewahan untukku mungkin baru belakangan ini, yakni ketika di usia 20an. Meski demikian, dari dulu aku sudah amat menyukai nasi goreng. Nasi goreng pertama yang aku makan mungkin adalah bikinan Mamahku dan sekaligus yang membuatku jatuh cinta pada makanan ini.

Pada usia SMP, ketika aku sudah mondok, nasi goreng mulai jarang kutemukan. Kami anak pondok, sangat jarang makan nasi goreng. Salah satu hal yang menyebabkannya adalah karena akses menuju kompor yang begitu sulit. Kami bisa mengakses kompor dengan leluasa hanya ketika kebagian jadwal piket memasak dan itu mungkin bisa sebulan sekali.

Pun kalau sedang jadwal, kami harus mendahulukan tugas kami terlebih dahulu, yaitu memasak untuk satu pondok dengan jumlah santri pada waktu itu sekitar 800 sampai 1000 santri. Waktu masak dilakukan dari jam 22.00 dan baru selesai sekitar dini hari. Pada waktu itu lah kami baru diperbolehkan masak-masak rekreatif dengan satu-satunya menu andalan berupa nasi goreng.

Sebetulnya ada cara lain untuk bisa makan nasi goreng di pondok, yaitu dengan 'nitip' ke teman-teman yang piket masak. Biasanya, sebelum yang piket masak pergi ke dapur, kami akan bilang "kalau bikin nasgor, aku dibangunin, ya!" kalau kalian berteman dengan yang piket masak, besar kemungkinan akan dibangunkan. Kalau berteman akrab atau bahkan bersahabat, tidak perlu minta juga biasanya dibangunkan.

Tidak semua kawanku bisa membuat nasi goreng yang enak. Ada satu golongan santri putra yang terkenal pandai memasak nasi goreng dan itu akan kuceritakan nanti. Sisanya, jangan terlalu berharap pada nasi goreng buatan santri putra. Nasi goreng santri putra biasanya sangat berminyak, nasinya banyak yang menggumpal serta arah rasanya tidak jelas. Topingnya juga cuma telur, itupun sudah termasuk hebat. Meski tidak karuan, kami menikmati nasi goreng seperti itu.

Pernah ada masanya ketika aku mulai muak dengan nasi goreng yang dibuat santri putra. Tiap aku piket masak, teman-teman yang lain akan masak nasi goreng, aku memilih pulang duluan dan tidur. Kalau temanku yang piket masak dan menawariku nasi goreng, aku akan secara halus menolaknya. Hal ini mungkin karena aku mulai menemukan nasi goreng buatan santri yang enak di pondok, yaitu buatan santri putri.

Ada cara lain untuk bisa menikmati nasi goreng secara gratis di pondokku, terlebih nasi gorengnya lebih enak, yaitu lewat jalur santri putri. Sama halnya seperti santri putra, santri putri juga ada piket masak. Ketika yang piket masak adalah temanku, aku bisa minta sekalian dibuatkan nasi goreng olehnya. Sebagai imbalannya, kadang aku cuma modal patungan telur satu butir, pada kesempatan lain cuma modal terimakasih.

Kekurangan cara ini adalah legalitasnya. Perlu diketahui bahwa di pesantren, interaksi cowok-cewek sangat dibatasi. Jadi untuk bisa menikmati sepiring nasi goreng yang layak, aku harus mendobrak batasan tersebut dan berada di pinggir jurang menjadi kriminal di pesantren. Hal yang sama juga berlaku buat si cewek.

Segala pengalaman di pesantren terkait nasi goreng tersebut mungkin telah merubah pandanganku terhadap makanan yang satu ini. Nasi goreng mulai menjadi semacam kemewahan untukku. Apalagi kusadari bahwa kian hari harga nasi goreng di pasaran makin naik. Dulu, sepuluh ribu sudah bisa makan nasi goreng biasa. Sekarang, nasi goreng biasa sudah di harga empat belas ribu rupiah. Harga tersebut memang tak bisa kukategorikan mahal, tapi paling tidak lebih mahal dibanding nasi ayam warteg.

Soal nasi goreng di pasaran, aku punya pendapat sendiri. Aku sudah mencoba nasi goreng berbagai daerah tapi menurutku yang juara adalah nasi goreng buatan orang Tegal, spesifiknya lagi yang kecamatan Bojong. Orang-orang Bojong sepertinya diberkahi bakat membuat nasi goreng yang lezat. Teman-temanku di pesantren banyak yang berasal dari Bojong, Tegal dan nasi goreng buatan mereka tak pernah kuragukan kelezatannya.

Kalau kalian pada suatu malam memutuskan untuk pergi membeli nasi goreng dan penjualnya merupakan orang Bojong, maka sesungguhnya kalian telah memutuskan untuk berbahagia. Kalian telah memutuskan untuk menghapus kesedihan. Kalian telah memilih untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih positif dari sebelumnya. Memang selezat itu nasi goreng orang Tegal.

Kembali lagi, buatku nasi goreng tetaplah sebuah kemewahan. Sekarang mungkin aku bisa mengakses kompor sesukaku, meskipun hanya kompor kemah. Aku juga bisa kapanpun pergi membeli nasi goreng, toh aku juga sudah berpenghasilan meskipun tidak banyak. Namun, dengan semua itu, nasi goreng tetaplah sebuah kemewahan.

Tetap berpikir bahwa nasi goreng adalah sebuah kemewahan membuatku terus bersyukur ketika dimasakkan nasi goreng. Aku bisa makan nasi goreng dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan, apalagi jika enak. Aku bisa membeli nasi goreng lalu menganggapnya sebagai suatu penghargaan atas diriku sendiri, atas segala yang telah kulalui. Nasi goreng adalah kemewahan yang tidak terlalu mewah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun